Kebudayaan adalah suatu fenomena sosial, tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan warga suatu masyarakat yang mendukung atau menghayatinya. Keteraturan, pola, atau konfigurasi, yang tampak pada perilaku dan tindakan warga suatu masyarakat tertentu tidaklah dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan kebudayaan. Perilaku dan tindakan berpola dianggap sebagai ungkapan budaya.
Perilaku dan tindakan suatu masyarakat erat kaitannya dengan situasi tempat atau wilayah dimana seseorang hidup, baik secara individu maupun kelompok. Seseorang atau masyarakat yang hidup di pegunungan, tentu mempunyai perilaku yang berbeda dengan seseorang atau masyarakat yang hidup di pesisir. Perilaku tersebut menjadi kebiasaan sehingga membentuk mentalite. Salah satu penghayat forum Anggara Kasih di lereng Gunung Penanggungan dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa, puncak kecerdasan manusia padang pasir adalah siasat atau politik. Sedangkan puncak kecerdasan manusia yang hidup di tanah gemah ripah loh jinawe adalah keindahan berbudaya.
Keindahan berbudaya terbentuk ketika urusan perut telah selesai. Di Nusantara, tercipta stratifikasi sosial dalam hal pemenuhan urusan perut. Pada zaman dahulu perbedaan status sosial dilihat dari bagaimana cara seseorang mencari makan, mata pencaharian atau profesi. Seorang pertapa yang fokus pada agama dan mengesampingkan dunia dianggap sebagai status sosial tertinggi.
Di bawahnya ada para ksatria yang hidupnya mengabdi untuk negara, kekayaannya dibatasi namun hidupnya dijamin oleh negara. Di bawahnya lagi ada pedagang, yang mengambil untung dengan barang atau jasanya. Kemudian, ada masyarakat yang mata pencahariannya mengambil manfaat dari hasil bumi. Selanjutnya, ada masyarakat yang mata pencahariannya dengan berburu atau membunuh hewan. Dan yang paling bawah adalah masyarakat yang hidup sebagai orang asing di suatu wilayah.
Stratifikasi masyarakat Nusantara tersebut sudah tidak berlaku di zaman sekarang. Menyisakan pengaruh bahwa orang yang mengabdikan diri kepada negara dianggap lebih tinggi statusnya. Selain itu yang sangat mencolok adalah budaya konsumerisme dan inferior. Mayoritas masyarakat Nusantara zaman sekarang menganggap sesuatu yang datang dari luar, lebih baik dari pada pribumi. Barang yang sama dijual di tempat yang berbeda dengan harga yang jauh lebih mahal menciptakan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Contohnya, secangkir kopi yang dijual di kaki lima dianggap lebih rendah dari pada secangkir kopi yang sama dengan harga jauh lebih mahal di sebuah café.
Makanan menjadi identitas atau penanda budaya karena lingkungan, kebiasaan, dogma, politik dan hal-hal lain yang membuat masyarakat di suatu daerah dengan budaya tertentu akan berbeda dengan masyarakat di daerah lain dengan budaya yang berbeda. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Eropa yang masuk ke Indonesia. Kolonialisme bangsa Eropa ke Nusantara membawa perubahan dalam banyak hal di kehidupan sehari-hari.
Kolonialisme Eropa di Nusantara menciptakan tiga kelas sosial, yaitu bangsa Eropa, pribumi dan campuran. Eropa berdagang rempah-rempah dan setelahnya mengambil secara paksa hasil bumi dengan membangun wacana bahwa budaya Eropa lebih tinggi dari pada budaya pribumi. Bahasa, pendidikan, pakaian, ras, agama tak lepas dari pengaruh budaya Eropa.
Dalam hal bahasa, wacana kolonial membentuk kelas sosial dari bahasa yang dipertuturkan. Bahasa membentuk dan menciptakan keseluruhan realitas sosial. Bahasa mengondisikan, membatasi dan menentukan realitas keseluruhan alam semesta. Ketika orang-orang Eropa membawa teknologi atau sesuatu yang belum pernah ada di Nusantara, mereka menamainya sesuai dengan bahasa mereka. Seperti halnya spoordan slot, digunakan sebagai bahasa sehari-hari masyarakat Nusantara hingga sekarang.
Orang-orang Eropa tidak memperbolehkan pribumi menggunakan bahasanya. Hanya kaum bangsawan yang diperbolehkan menuturkannya dengan sekolah di sekolah tinggi milik pemerintah kolonial. Hal ini membentuk budaya dan mindset dalam masyrakat luas bahwa yang boleh bersekolah dan menuturkan bahasa bangsa Eropa adalah kaum bangsawan atau yang mempunyai status soial tinggi.
Tidak hanya itu, pengaruh budaya Eropa juga dalam hal pakaian. Gaya berpakaian orang Eropa dengan jas dan celananya dipandang lebih tinggi dari pakaian pribumi. Pakaian Eropa hanya digunakan di tempat-tempat atau acara-acara formal, sehingga menciptakan kesan di masyarakat bahwa pakaian Eropa yang lebih baik.
Sementara dalam hal agama, masyarakat Nusantara meyakini adanya kekuatan tunggal yang menguasai alam semesta. Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo menyebutkan bahwa agama masyarakat Nusantara adalah Kapitayan. Diekspresikan dengan menjaga hubungan antar-manusia dan keseimbangan alam. Ekspresi tersebut disimbolkan dengan sesajen di pohon, goa, gunung, maupun laut. Sarjana Eropa menyebutnya sebagai animisme dan dinamisme.
Konsep Civilization dibawa oleh orang Eropa melalui kolonialisme. Konsep tersebut sangat erat kaitannya dengan budaya. Bangsa Eropa sebagai agen yang membawa budaya baru dan menciptakan struktur sosial di masyarakat luas. Peran bangsa Eropa dalam melakukan interaksi dengan penduduk pribumi dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan. Mulai dari perdagangan, bahasa, pendidikan, ras dan agama. Sehingga mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup, baik secara individual maupun secara komunal. Membentuk kesadaran kolektif, mentaliteyang menganggap segala sesuatu yang berasal dari Eropa atau luar negeri, statusnya lebih tinggi daripada hasil karya pribumi.
DAFTAR PUSTAKA
Barry, Peter. 2010. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.
BS, Ardiansyah. 2019. The Paradise. Yogyakarta: Belibis Pustaka.
Christomy, Tommy dan Untung Yuwono (Eds). 2010. Semiotika Budaya. FIB UI: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. Cetakan II.
Sahlins, Marshall. 1994. Food as Symbolic Code. USA: Cambridge University Press.
Sunyoto, Agus. 2016. Atlas Walisongo. Yogyakarta: Pustaka Iman.
Toer, Pramoedya Ananta. 2015. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
0 Comments