Komodifikasi Kesempatan dalam Kesempitan Pandemi


Setiap keputusan menentukan peristiwa dalam hidup. Keputusan yang akan berdampak dan dirasakan banyak orang, menghadirkan kebahagiaan atau kesedihan di masa depan. Terkadang pengambilan keputusan tidak untuk mencari sebuah solusi, melainkan untuk menenangkan hati agar sebuah kesempatan tak terlewati. Dalam kondisi normal, kesempatan milik semua orang. Besar-kecil kesempatan bergantung tinggi-rendah struktur sosial. Namun ketika masyarakat harus #dirumahaja dalam kondisi pandemi seperti ini, kesempatan milik pihak yang mempunyai kuasa dan wewenang. Pertanyaannya, apakah setiap yang berwenang benar-benar menjalankan amanah atas kuasanya atau mengambil kesempatan di tengah kesempitan masyarakat dalam menghindari wabah?

 

Kesempatan dalam kesempitan pernah dipertontonkan dalam sebuah video pendek di luar negeri. Sebuah rumah sakit mengambil untung dengan memanfaatkan jenazah pasien, sehingga keluarga pasien harus membayar sejumlah uang yang tak sedikit ke rumah sakit untuk membeli obat-obatan yang sebenarnya tidak perlu. Sementara di Indonesia, sebuah film yang muncul tepat sehari sebelum Pilpres 2019 menjadi perbincangan hangat. Sexy Killer, film besutan Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc Documentary, membeberkan bagaimana elite politik yang sedang berkontestasi terlibat dalam kerusakan lingkungan akibat perusahaan tambang batu bara.

 

Kini, ketika Presiden memberikan kepercayaan kepada generasi milenial sebagai staf khususnya, muncul isu penyalahgunaan wewenang. Andi Taufan Garuda Putra dan Belva Syah Devara, dua di antara dua staf khusus presiden dianggap publik menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi melalui perusahaannya, Amartha dan Skill Academy. Terlepas dari isu tersebut benar atau tidak, hal itu memunculkan mosi tidak percaya publik terhadap staff khusus presiden. Sehingga membuat masyarakat meminta presiden untuk mengevaluasi kinerja mereka. Kita berharap isu tersebut tidak benar, namun jika memang benar demikian, apa yang bisa diharapkan dari generasi muda di masa depan ketika “benar-benar “memegang amanah rakyat?

 

Abdi negara dan pengusaha adalah dua hal yang perlu dipisahkan dalam hal tugas pokok dan fungsinya. Seorang abdi negara bertugas melayani masyarakat sepenuhnya, dan tidak mengambil kesempatan dalam memperkaya diri menggunakan wewenangnya. Seperti halnya dwifungsi angkatan bersenjata yang kini tak berlaku lagi. Angkatan bersenjata dan pejabat sipil telah dipisahkan tugas pokok dan fungsinya. Bukan berarti seorang angkatan bersenjata tidak boleh menjadi pejabat sipil, semuanya mempunyai hak yang sama. Namun ketika menjadi pejabat sipil, seorang angkatan bersenjata harus melepaskan senjatanya (pensiun). 

 

Senjata tidak untuk digunakan memimpin masyarakat sipil, melainkan berfungsi untuk memusnahkan musuh atau melumpuhkan penjahat. Sama halnya dengan pemimpin perusahaan yang mempunya visi mencari laba, tidak bisa disamakan dengan abdi negara yang berkewajiban melayani. Oleh karenanya, ketika seseorang menjadi abdi negara, harusnya mengundurkan diri sebagai direktur, CEO atau pimpinan dalam sebuah perusahaan. Kepemilikan senjata dan visi mencari laba adalah dua hal yang perlu dipisahkan dari abdi negara dalam hal tugas pokok dan fungsinya.

 

Komodifikasi

Komodifikasi dapat dipahami sebagai sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya tidak berharga menjadi komoditi yang bisa dijual. Barker mendefinisikan komodifikasi sebagai proses asosiasi kapitalisme, yaitu objek, kualitas dan tanda dijadikan sebagai komoditas. Ada ideologi di balik media, yaitu upaya menutupi peraihan keuntungan dengan tujuan-tujuan lainnya. Sesuatu yang tampaknya baik dan bersifat gotong royong, bisa jadi kurang baik karena ada kepentingan individu yang berusaha meraup keuntungan pribadi. Segala hal bisa dikomodifikasikan, mulai dari agama, jabatan, hingga kondisi sosial seperti wabah pandemi sekarang ini.

 

Komodifikasi agama, menjadikan agama sebagai komoditas untuk dijual. Agama bisa dijadikan komoditas utama atau sarana pendukung dalam meraih laba. Tidak adanya otoritas keagamaan yang sepenuhnya mengatur dan mengidentifikasi antara ulama dan pedagang di Indonesia, membuat masyarakat awam sering tertipu. Banyak bermunculan pedagang berkostum ulama, dan tidak sedikit ulama yang dicaci akibat provokasi pedagang. Akhirnya, membenturkan agama dan negara, menggunakan narasi keagamaan untuk menjelekkan pemerintah. Tanpa partisipasi aktif membangun negeri.

 

Komodifikasi jabatan, menjadikan jabatan sebagai komoditas untuk mendapat keuntungan. Hal ini bisa dilihat ketika menjelang pemilihan umum. Dana kampanye diperhitungkan dengan jumlah besaran gaji yang akan diterima jika terpilih. Perjudian politik mengantarkan peserta pemilu ke rumah sakit jiwa ketika harapannya tak sesuai kenyataan. Sementara yang terpilih, bisa menggunakan jabatannya untuk memuluskan usaha pribadi. Adanya kuasa atau wewenang, berbanding lurus dengan terbukanya kesempatan.  

 

Komodifikasi sosial, menjadikan fenomena sosial sebagai komoditas untuk mendapatkan laba. Bencana alam, peperangan, kontestasi politik atau menyebarnya wabah membuka kesempatan untuk mendapatkan keuntungan. Benar-salah atau baik-buruk sudah bukan lagi menjadi tujuan utama, tergantikan dengan kepentingan individu dan kelompok dengan ideologi tertentu. Bukankah kebaikan bernilai penuh jika tersembunyi dan kejahatan akar terhindar dan tak terlaksana jika ditampakkan?

 

Struktur Sosial

Struktur sosial mengalami perubahan seiring dengan bertransformasinya tata kelola dan cara hidup masyarakat. Sistem kasta dengan cara pandang horizontal perlu ditinjau sebagai inspirasi untuk mengatasi carut-marut dan tumpang-tindih tugas pokok dan fungsi. Brahmana, sebagai kelompok yang bertugas menyebarkan agama dan pengetahuan, bukan untuk berdagang atau memperkaya diri. Ksatria, sebagai kelompok yang mengabdikan diri pada negara dan hidupnya ditanggung negara, tidak memperkaya diri dengan berdagang. Waisya, kelompok petani dan orang-orang yang hidup dengan merawat bumi. Sudra, sebagai kelompok pedagang dan saudagar. Candala, kelompok pemburu, tukang jagal, nelayan dll. Mleca, kelompok orang asing. 

 

Semua orang sama kedudukannya di depan Tuhan dan di mata hukum, namun jika tugas pokok dan fungsi tersebut berjalan sesuai dengan tempatnya, kehidupan tampaknya berjalan lebih teratur dan tertata. Kini, tugas pokok dan fungsi tersebut seakan melebur tak terlihat. Masyarakat bingung membedakan antara brahmana, ksatria atau saudagar.

 

Saling tolong-menolong dalam menghadapi wabah pandemi menjadi keniscayaan. Penerapan protokol kesehatan, pembuatan APD dan saling menguatkan antar-sesama sebagai upaya menanggulangi wabah ini. Setiap orang tentu ingin berkontribusi, namun kontribusi tanpa ilmu justru menambah bencana semakin berat, lebih baik #dirumahaja. Pembuatan APD secara sporadis tanpa standar yang jelas, mengambil keuntungan dalam bencana, memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan narasi agama untuk melawan pemerintah, bukankah menjadikan wabah ini semakin berat untuk diatasi. Mari, bersyukur dalam setiap keadaan, dengan tidak mengambil keuntungan dalam kesempitan pandemi.

Post a Comment

0 Comments