Menelusuri Signifikansi Ulama Nusantara: Catatan Reflektif Simposium Nasional Islam Nusantara

Prof. Azyumardi Azra mengatakan Islam wasathiyah hanya ada di Indonesia, Islam dengan corak yang melebur dengan budaya, toleran dan damai. Meskipun memang kerap terjadi konflik dan intoleransi yang mencatut nama agama, sebut saja konflik di Ambon, Poso dan beberapa kasus kekerasan yang menimpa saudara-saudara Kristen, Ahmadiyah dan Syiah. Atas pemaparan Prof. Azra di muka, saya tentu saja mengapresiasi, hanya saja kita jangan terlena dan apalagi jumawa. Masyarakat kita, semakin ke sini justru semakin mudah tersulut emosi berbahan bakar SARA yang secara tiba-tiba pun begitu mudah meledak. Kita harus terus memperkuat pertahanan persaudaraan kita, sebab virus-virus kebencian mengatasnamakan dan mencatut dalil-dali agama semakin marak dan anehnya diminati. 

Pemaparan berikutnya datang dari Kiai Agus Sunyoto berkapasitas sebagai Ketua Lesbumi PBNU. Beliau--dengan gaya pemaparan yang kalem--mengatakan bahwa telah banyak menemukan naskah-naskah kuno yang tersebar di sepanjang Majapahit, Demak, Mataram, Banten, Cirebon dan lainnya, tidak kurang dari 12.400 naskah. Hanya saja beliau menyayangkan yang bisa mengakses naskah-naskah tersebut (membaca) hanya 3 orang saja. Kali ini Kiai Agus fokus pada genealogi Pesantren sebagai lembaga pendikan Islam asli Indonesia. Pesantren muncul beriringan dengan lembaga-lembaga serupa di antaranya Padepokan, Dukuh, Peguron dan lain sebagainya. Beliau menjelaskan bahwa akar keilmuan dan tradisi Pesantren sangat mengesankan. Naskah-naskah kuno tesebut secara rinci banyak menjelaskan soal tata krama para santri di Pesantren tentang bagaimana adab menunduk di hadapan guru/kiai, tidak boleh duduk sejajar, tidak boleh bertanya, manut apa saja kata guru/kiai, tidak boleh makan dua kali dan seterusnya. 

Kiai Agus juga menemukan fakta dalam naskah-naskah kuno tersebut tentang ajaran poligami sampai 4 istri, kasta-kasta, dan lain sebagainya. Mendapati pemaparan dari Kiai Agus, saya agak kurang pas. Sebab kalau kita bandingkan dengan paradigma pendidikan kritis modern, maka akan terlihat perbedaan dan persoalan yang harus segera diperbaharui dalam sumber maupun ajaran Pesantren sejak dulu hingga sekarang. Ada kesan, bahwa Pesantren sejak dahulu mencerminkan realitas kehidupan feodal mirip seperti kerajaan, di mana bawahan harus tunduk kepada atasan. Saya meyakini, sekalipun pendidikan akhlak itu penting, mestinya tetap proporsional dan kritis. Ini tidak lain agar pendidikan di Pesantren lebih membebaskan dan menjunjung tinggi kreativitas. Syukurlah pada dewasa ini Pesantren menjelma menjadi lembaga pendidikan yang coraknya sangat beragam: mulai dari Pesantren Salaf, Pesantren Modern maupun Pesantren Semi Modern. 

Pemaparan "mengejutkan" datang dari Dr. Fachry Ali. Di awal pemaparannya beliau mengafirmasi pendapat Prof. Susanto Zuhri berkaitan dengan istilah Islam Bahari. Sebagai Islam yang harus dibenturkan dengan sejarah Indonesia masa awal. Dr. Fachry bahkan menuding bahwa Islam Nusantara ini justru perwujudan dari Mataramisme Islam. Beliau memahami Islam Nusantara dari buku yang ditulis oleh Dr. Syafiq Hasyim--bukan dari konsepsi yang kerap dilontarkan oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj. Entah kenapa Dr. Fachry lebih memilih dan memahami konsep Islam Nusantara Dr. Syafiq ketimbang dari Kiai Said. Pernyataan Dr. Fachry kemudian dipertegas dengan poin bahwa struktur berpikir Islam Nusantara adalah pengalaman kolektif santri. Saya menengarai sebetulnya di sinilah Dr. Fachry kembali ingin mengkritik Islam Nusantara sebagai konsep yang kurang kosmopolitan dan universal. 

Saya merasa bahwa pandangan-pandangan Dr. Fachry layak dipertimbangkan. Ini tidak lain agar gagasan Islam Nusantara tidak hanya menjadi kepentingan PBNU dan UNUSIA, melainkan menjadi garapan kita bersama. Sebab kalau tidak, gagasan Islam Nusantara hanya akan berhenti manakala Prof. KH. Said Aqil Siroj sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Betapa saya menyimak betul, bahwa dalam sepanjang Simposium Nasional Islam Nusantara berlangsung, para narasumber tamu malah banyak mengkritik ketidaktepatan Islam Nusantara. Padahal sejatinya para narasumber itu bertugas memperkuat konsep Islam Nusantara bukan malah menelanjangi. Saya melihat kalau bukan karena NU mayoritas dan hormat pada para kiai NU, Islam Nusantara bisa jadi akan dipreteli semakin serius oleh para narasumber tamu tersebut. 

Tibalah saatnya pemaparan dari KH. Yahya Cholil Staquf sebagai Katib Am PBNU. Saya menemukan Kiai Yahya yang diplomatis, di mana ternyata, "otak" di balik konsep Islam Nusantara PBNU adalah beliau. Bahkan beliau dengan terang-terangan menyatakan bahwa sejak Islam Nusantara hendak diluncurkan pada Muktamar NU yang sudah lampau, Kiai Yahya-lah "sutradara" di balik itu semua. KH. Ahmad Mustofa Bisri yang saat itu menjabat sebagai Pj Rais Am sepeninggal KH. MA Sahal Mahfudh, manakala hendak menyampaikan tausiyah iftitah Rais Am, redaksi tausiyahnya telah melalui editing Kiai Yahya. Tak terkecuali teks sambutan yang juga disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil, pemilahan redaksi, diksi dan analisanya adalah berkat tangan dingin Kiai Yahya. Saat itu saya berdecak dan terbelalak, posisi Kiai Yahya di PBNU luar biasa. Ternyata kendali PBNU ada di tangan Kiai Yahya. 

Kiai Yahya tampil lugas. Beliau mengatakan bahwa pertemuan dan konsep Islam Nusantara ini anti klimaks. Beliau juga mewanti-wanti jika pemaparannya akan cenderung melompat-lompat. Bahkan beliau sendiri masih bertanya-tanya: apakah Islam Nusantara ini bertujuan untuk memperkuat diri sendiri (NU) atau untuk menawarkan solusi? Tanpa tedeng aling-aling, Kiai Yahya menyatakan bahwa tidak perlu ada definisi Islam Nusantara yang baku. Islam Nusantara tidak usah didakwahkan, menurut beliau yang perlu didakwahkan itu nilai-nilai NU. Saya benar-benar terkejut menyimak pemaparan Kiai Yahya, sebab mau tidak mau, konseptualisasi Islam Nusantara akhirnya semakin absurd. Namun, Kiai Yahya memang bertanggungjawab atas pemaparannya, bahwa beliau menganggap bahwa Islam Nusantara itu hanyalah sebagai "strategi komunikasi" bukan sebagai konsep dan apalagi sebagai disiplin ilmu. Atas pemarapan Kiai Yahya inilah, saya cukup memahami bahwa pergulatan Islam Nusantara ini hanyalah sebagai kunci keberlangsungan NU untuk merespon zaman yang sifatnya tidak baku dan tidak formal. 

Akhirnya, saya masih berharap akan ada acara serupa yang lebih serius dan memang hal itu diungkapkan oleh Dr. Suaedy bahwa akan ada Simposium Internasional Islam Nusantara menjelang helatan akbar Muktamar NU ke 34 di Lampung, pada Oktober 2020 mendatang. Saya pikir, acaranya akan semakin menarik. Saya berharap jika dalam acara Simposium Inernasional nanti dihadirkan pula para Profesor Doktor ahli sejarah, sosiologi dan antropologi dari Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Filipina dan lain sebagainya. Sebab atas gagasan Islam Nusantara PBNU dan UNUSIA ini harga diri dan keilmuannya dipertaruhkan, antara apakah gagasan ini akan terus dikembangkan atau akan berhenti di tengah jalan? Istilah Nusantara bagi saya kurang berkarakter jika dibandingkan dengan Indonesia. Maka sampai saat ini masih tetap keukeuh dengan Islam Indonesia ketimbang Islam Nusantara. Konsepsi Islam Indonesia sangat familiar dan kontekstual dengan berbagai pemikiran progresif tentang kesetaraan gender, pluralisme agama, seksualitas, kewirausahaan dan lain sebagainya.

Post a Comment

0 Comments