Bergerak, Senyap, Menghidupkan

Saat lahir manusia bersifat lembut, tetapi saat ia mati akan menjadi keras. Keras adalah sahabat kematian, dan lembut adalah sahabat kehidupan. Demikianlah kata Lao Tsu, penggagas Taoisme itu seakan ingin mengatakan walyatalaththaf: berlaku lembutlah kamu! Kata yang disinyalir sebagai pertengahan Al-Quran itu, menyimpan sejarah panjang interaksi manusia. Bagaimana pun sejarah itu ditulis, aksara menjadi saksi bisu ketaksempurnaan manusia. Bumi terus berputar dan kehidupan harus terus bergerak.

Prinsip hidup adalah bergerak. Demikian gagasan Herakleitus (535-475 SM), filsuf  Yunani Kuno. Ketika pergerakan hidup dihentikan, kematian pun menjemput. Gerak sebagai prinsip hidup menjadi nyata dalam tubuh. Ketika gerak darah dihentikan, matilah manusia. Yang menarik, saat bergerak, darah juga berbagi. Ia membagikan oksigen dan dan zat gizi kepada sel-sel. Bergerak dan berbagi itu menghidupkan.

Dalam ajaran Islam mukmin yang cerdas adalah yang senantiasa mengendalikan diri. Bergerak melampaui diri yang kemarin, bukan diri yang lain. Menciptakan sebuah kebermaknaan dalam memahami arti sebuah penciptaan. Menjadi ada saja tidak cukup, karena setiap kelahiran memiliki makna, dan kehidupan adalah perjalanan merangkai makna.

Sebagaimana bumi dan matahari yang terus berputar dan tak pernah malas untuk bergerak. Rutinitasnya menciptakan keseimbangan alam. “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya . . .” (QS. Yasin: 38).Kebermaknaan dalam penciptaan, terus bergerak menghadirkan kebermanfaatan dan perubahan. Sebagaimana uap air yang terus bergerak dalam siklus hidrologi. “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya . . .” (QS. An-Nur: 43)

Dalam tradisi Kristen, merawat kehidupan dengan bergerak dan berbagi. Yesus memberi makan ribuan orang dengan lima roti dan dua ikan. Yesus meminta para murid menyuruh ribuan orang duduk berkelompok. Ia mendoakan roti dan ikan, lalu memberikannya kepada para murid untuk diteruskan kepada ribuan orang. Mulailah acara makan Bersama. Setelah semua makan, sisa makanan yang dikumpulkan 12 bakul. Injil menganjurkan untuk memberi dengan sukarela dalam rel kebenaran. “Setiap orang sebaiknya memberi sesuai dengan apa yang dia putuskan dalam hatinya, tidak dengan berat hati atau terpaksa, karena Allah mengasihi orang yang memberi dengan senang hati.” (Korintus 9: 7).Yesus berkata,”Lebih bahagia memberi daripada menerima.” (Kisah 20: 35).

Dalam ajaran Hindu mengajarkan bahwa laku cinta kasih meredam keangkuhan dan memurnikan jiwa. Naskah Arjunawiwaha tertulis,”Sasi wimba haneng ghata mesi banyu, Ndan asing suci nirmala mesi wulan, Iwa mangkana rakwa kiteng kadadining angembeki yoga kiteng sakala.” Bagaikan bayangan bulan pada tempayan berisi air, tapi hanya suci murni saja yang menampakkan bulan,seperti itulah Engkau pada yang tercipta, pada yang tekun mengamalkan yoga Engkau nyata.

Ajaran Hindu seakan menegaskan bahwa cinta kasih dan ketulusikhlasan adalah mutlak. Seseorang tidak akan bisa berkarma, beryadnya, bermeditasi dan melakukan ritual, namun masih menyimpan benci, dendam, iri hati dan amarah. Ekspresi religius yang berlandaskan cinta kasih melahirkan pribadi yang ramah. Bhagavadgita IX. 26 menyebutkan, Patram puspam phalam toyam, Yo me bhaktya prava-cchati, Tad aham bhaktyu-phrtam, Asnami prayatat-manah. Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan atau air persembahan yang didasari dengan cinta dan keikhlasan, Aku terima.

Apa yang tidak diinginkan diri sendiri, jangan dilakukan terhadap orang lain. Kalau ingin tegak, buatlah orang lain juga tegak. Jika ingin maju, buatlah orang lain juga maju. Ji shuo bu yi wu shi yi renji yi li er li ren, ji yi da er da ren. Kebijaksanaan dalam agama Konghucu ini seakan selaras dalam anjuran memberi kepada orang yang sedang berbuka puasa dalam Islam. 

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)


*Mahasiswa Pascasarjana Filologi Universitas Indonesia tinggal di www.ardiansyahbs.com

Post a Comment

0 Comments