Azyumardi Azra* - Sesi ini diawali dengan menyanyikan lagu
angkatan disertai koreografi oleh seluruh peserta. Semangat terpancarkan dari seluruh peserta ketika menyanyikan lagu
angkatan Cantrikabhinaya Nagarajaya. Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian oleh narasumber. Seluruh
peserta yang ada di ruang auditorium tersebut mendengarkan dan
memperhatikan dengan seksama. Azyumardi Azra mengawali ceramahnya dengan
mengutip sebuah firman Allah SWT dalam Surat Ibrahim ayat 7:
لئن شكرتم لأزيدنّكم ولئن كفرتم إنّ عذابي لشديد
“Sungguh jika kalian mau bersyukur, niscaya
benar-benar akan Aku tambahkan kepada kalian, dan sungguh jika kalian kufur
maka sesungguhnya siksa-Ku sangat lah pedih.”
Melalui ayat ini,
Azyumardi Azra berpesan kepada seluruh calon awardee yang seluruhnya
merupakan alumnus pesantren, bahwa mereka semua harus bersyukur karena menjadi
putra-putri bangsa yang terpilih untuk diberikan beasiswa. Menurut beliau,
tidak semua orang bisa mendapatkan beasiswa, apalagi beasiswa LPDP. Lebih-lebih
zaman dulu, zaman dimana jarang-jarang ada beasiswa melanjutkan studi ke luar
negeri yang diberikan oleh Pemerintah untuk anak-anak Negeri. Alumnus Columbia
University ini bercerita bahwa dahulu, saat beliau menerima beasiswa
melanjutkan Studi ke luar Negeri, hanya ada 6 orang yang terpilih mewakili para
alumnus Pesantren, yang diusulkan oleh Menteri Agama saat itu, yaitu Prof
Munawwir Syadzili. Enam orang ini diantaranya adalah Prof Din Syamsuddin dan
Prof Mulyadi Kertanegara.
Pemateri mengingatkan kembali agar penerima
beasiswa selalu bersyukur karena telah dibiayai oleh negara. Tidak ada negara
lain yang memberikan beasiswa khusus untuk santri kecuali di Indonesia. Hal
yang patut disyukuri juga adalah Indonesia merupakan negara yang meskipun
mayoritas penduduknya muslim dan mempunyai latar belakang suku yang
berbeda-beda, namun negaranya tetap damai.
Apabila Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara mayoritas berpenduduk Islam di sebelah barat Indonesia, di sana
banyak terjadi konflik, contohnya seperti Bangladesh, Pakistan, Afghanistan,
dan juga negara-negara Timur Tengah. Di Syiria, masjid-masjid banyak yang
rusak, tempat-tempat bersejarah juga dirusak. Negara-negara tersebut tidak
dalam keadaan damai. Keadaan ini terlihat berbeda dengan Indonesia yang damai.
Maroko dan Aljazair memang negara yang
relatif lebih stabil dari sisi keamanan. Namun negara-negara tersebut tidak mempunyai
komoditas yang lebih sebagai sumber yang dapat menggerakkan perekonomiannya.
Meskipun kedua negara sama-sama relatif stabil tetapi Indonesia mempunyai hal yang
patut disyukuri, yaitu cuaca yang tidak ekstrem, dingin maupun panas yang
terkadang menjadi pemicu meninggalnya seseorang.
Azyumardi Azra menjelaskan bahwa
masyarakat Indonesia mengalami lack of
courtesy yang mengakibatkan sulitnya berterima kasih ataupun bersyukur,
meminta maaf, dan mengucapkan tolong. Beliau juga mengingatkan untuk tidak
seperti Muslim Australia yang tidak mengikuti hukum di Australia melainkan
hukum syariah. Beliau berpendapat seharusnya rasa syukur juga harus ditujukan
kepada negara dan tidak secara langsung melawan hukum negara.
Syukur dapat diekspresikan dengan aksi
dan selalu bertanya apa yang sudah diberikan untuk menjaga Indonesia tetap
bersatu. Oleh karena itu, penting bagi penganut Islam di Indonesia untuk tetap
menjadi ummatan wasatan, yaitu umat
yang berada di jalan yang tengah bukan yang terlalu ekstrim ke kanan maupun
yang terlalu ekstrim ke kiri.
Jika barat maju karena etos protestan, maka Indonesia memiliki potensi
untuk maju dengan etos keislaman. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada
negara yang bisa maju dengan etos keislaman. Inilah yang sedang dijalani dan
dihadapi oleh Indonesia untuk membuktikan bahwa menjadi bangsa yang beragama
bisa maju. Perbedaan di Indonesia bukan untuk disatukan tapi biarlah berbeda
tapi saling toleransi, lebih memperkuat tasamuh, taawudz dan ta’awun. Karakter
inilah yang diajarkan oleh ormas terbesar Islam, NU dan Muhammadiyah. NU dan
Muhammadiyah memiliki peran yang sangat besar dalam mengajarkan kepada
masyarakat Indonesia tentang perdamaian dan kedamaian. Kedua ormas tersebut
mencoba untuk merawat kearifan lokal sebagai netralisir gerakan radikalisme
beragama di Indonesia. Kearifan lokal ini yang diyakini oleh BNPT bisa melawan
radikalisme.
Azyumardi Azra juga membagikan kunci
kesuksesan. Ia berpendapat bahwa kedisiplinan adalah kunci kesuksesan yang
utama, termasuk sukses dalam menulis. Kunci keberhasilan lainnya yang juga
perlu dilakukan adalah istikqamah, tidak banyak alasan, dan lain sebagainya.
Beliau juga menghimbau agar kita bertekad selesai kuliah pada waktunya atau
sedapat mungkin lebih cepat. Ketika diberi amanah, amanah tersebut harus
dipikul dengan baik.
Kuliah umum diakhiri dengan sesi diskusi
tanya jawab. Salah satu pertanyaan dari calon awardee adalah mengenai social
project yang dilakukan angkatan 144. Masyitoh Anis yang berencana kuliah di
University of Warwick menanyakan mengenai bagaimana memulai social project yang
akan membangun sebuah yayasan bernama Santri Foundation untuk mewadahi semua
golongan umat Islam tanpa memandang afiliasi.
Pertanyaan tersebut dijawab narasumber
bahwa tidak mungkin menyatukan semua organisasi masyarakat Islam. Meskipun
demikian, perkuat mereka dengan tasamuh, tawazun dan taawun.
Perbedaan tidak menjadi masalah selama wasathiyah karena mereka
mempunyai karakter masing-masing. Inilah yang menjadi legacy di Indonesia. Masalah muncul ketika ada yang menganggap
kelompoknya paling benar. Indonesia mulai gaduh karena ada yang mengklaim harus
Islam dari Timur Tengah. Untuk memperbaiki Indonesia, nilai-nilai Islam yang
benar harus ditegakkan.
* Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE (lahir di
Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 4 Maret 1955; umur 64 tahun)
adalah akademisi Muslim asal Indonesia. Sekarang beliau menjabat sebagai Dewan
Penasehat LPDP, Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan Presiden
Asosiasi Muslim International Asia. Ia juga dikenal sebagai cendekiawan muslim.
Azyumardi terpilih sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan
mengakhirinya pada 2006. Pada tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the
Order of British Empire, sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris. Azyumardi
memulai karier pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas
Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, kemudian atas bantuan beasiswa
Fullbright, ia mendapakan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan
Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Ia memenangkan beasiswa
Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tetapi kali ini Azyumardi
pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA pada 1989. Pada 1992, ia
memeroleh gelar Master of Philosophy (M.Phil) dari Departemen Sejarah, Columbia
University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi
berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of
Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth
Centuries.Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara
simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University
Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press). Kembali ke Jakarta, pada
tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia
Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995 dia
mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford
University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College.
Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada Universitas Filipina dan
Universitas Malaya, Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah
anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program
(SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo,
Jepang antara tahun 1997-1999.
Keberhasilan tidak
diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya
keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana
pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah
kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak
akan bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)
0 Comments