Moderasi Beragama Kunci Emas Nagarajaya (Part 3)

Azyumardi Azra* - Sesi ini diawali dengan menyanyikan lagu angkatan disertai koreografi oleh seluruh peserta. Semangat terpancarkan dari seluruh peserta ketika menyanyikan lagu angkatan Cantrikabhinaya Nagarajaya. Kemudian dilanjutkan dengan penyampaian oleh narasumber. Seluruh peserta yang ada di ruang auditorium tersebut mendengarkan dan memperhatikan dengan seksama. Azyumardi Azra mengawali ceramahnya dengan mengutip sebuah firman Allah SWT dalam Surat Ibrahim ayat 7:
لئن شكرتم لأزيدنّكم ولئن كفرتم إنّ عذابي لشديد
“Sungguh jika kalian mau bersyukur, niscaya benar-benar akan Aku tambahkan kepada kalian, dan sungguh jika kalian kufur maka sesungguhnya siksa-Ku sangat lah pedih.”

Melalui ayat ini, Azyumardi Azra berpesan kepada seluruh calon awardee yang seluruhnya merupakan alumnus pesantren, bahwa mereka semua harus bersyukur karena menjadi putra-putri bangsa yang terpilih untuk diberikan beasiswa. Menurut beliau, tidak semua orang bisa mendapatkan beasiswa, apalagi beasiswa LPDP. Lebih-lebih zaman dulu, zaman dimana jarang-jarang ada beasiswa melanjutkan studi ke luar negeri yang diberikan oleh Pemerintah untuk anak-anak Negeri. Alumnus Columbia University ini bercerita bahwa dahulu, saat beliau menerima beasiswa melanjutkan Studi ke luar Negeri, hanya ada 6 orang yang terpilih mewakili para alumnus Pesantren, yang diusulkan oleh Menteri Agama saat itu, yaitu Prof Munawwir Syadzili. Enam orang ini diantaranya adalah Prof Din Syamsuddin dan Prof Mulyadi Kertanegara.

Pemateri mengingatkan kembali agar penerima beasiswa selalu bersyukur karena telah dibiayai oleh negara. Tidak ada negara lain yang memberikan beasiswa khusus untuk santri kecuali di Indonesia. Hal yang patut disyukuri juga adalah Indonesia merupakan negara yang meskipun mayoritas penduduknya muslim dan mempunyai latar belakang suku yang berbeda-beda, namun negaranya tetap damai.

Apabila Indonesia dibandingkan dengan negara-negara mayoritas berpenduduk Islam di sebelah barat Indonesia, di sana banyak terjadi konflik, contohnya seperti Bangladesh, Pakistan, Afghanistan, dan juga negara-negara Timur Tengah. Di Syiria, masjid-masjid banyak yang rusak, tempat-tempat bersejarah juga dirusak. Negara-negara tersebut tidak dalam keadaan damai. Keadaan ini terlihat berbeda dengan Indonesia yang damai.

Maroko dan Aljazair memang negara yang relatif lebih stabil dari sisi keamanan. Namun negara-negara tersebut tidak mempunyai komoditas yang lebih sebagai sumber yang dapat menggerakkan perekonomiannya. Meskipun kedua negara sama-sama relatif stabil tetapi Indonesia mempunyai hal yang patut disyukuri, yaitu cuaca yang tidak ekstrem, dingin maupun panas yang terkadang menjadi pemicu meninggalnya seseorang.

Azyumardi Azra menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia mengalami lack of courtesy yang mengakibatkan sulitnya berterima kasih ataupun bersyukur, meminta maaf, dan mengucapkan tolong. Beliau juga mengingatkan untuk tidak seperti Muslim Australia yang tidak mengikuti hukum di Australia melainkan hukum syariah. Beliau berpendapat seharusnya rasa syukur juga harus ditujukan kepada negara dan tidak secara langsung melawan hukum negara.

Syukur dapat diekspresikan dengan aksi dan selalu bertanya apa yang sudah diberikan untuk menjaga Indonesia tetap bersatu. Oleh karena itu, penting bagi penganut Islam di Indonesia untuk tetap menjadi ummatan wasatan, yaitu umat yang berada di jalan yang tengah bukan yang terlalu ekstrim ke kanan maupun yang terlalu ekstrim ke kiri.

Jika barat maju karena etos protestan, maka Indonesia memiliki potensi untuk maju dengan etos keislaman. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada negara yang bisa maju dengan etos keislaman. Inilah yang sedang dijalani dan dihadapi oleh Indonesia untuk membuktikan bahwa menjadi bangsa yang beragama bisa maju. Perbedaan di Indonesia bukan untuk disatukan tapi biarlah berbeda tapi saling toleransi, lebih memperkuat tasamuh, taawudz dan ta’awun. Karakter inilah yang diajarkan oleh ormas terbesar Islam, NU dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah memiliki peran yang sangat besar dalam mengajarkan kepada masyarakat Indonesia tentang perdamaian dan kedamaian. Kedua ormas tersebut mencoba untuk merawat kearifan lokal sebagai netralisir gerakan radikalisme beragama di Indonesia. Kearifan lokal ini yang diyakini oleh BNPT bisa melawan radikalisme.

Azyumardi Azra juga membagikan kunci kesuksesan. Ia berpendapat bahwa kedisiplinan adalah kunci kesuksesan yang utama, termasuk sukses dalam menulis. Kunci keberhasilan lainnya yang juga perlu dilakukan adalah istikqamah, tidak banyak alasan, dan lain sebagainya. Beliau juga menghimbau agar kita bertekad selesai kuliah pada waktunya atau sedapat mungkin lebih cepat. Ketika diberi amanah, amanah tersebut harus dipikul dengan baik. 

Kuliah umum diakhiri dengan sesi diskusi tanya jawab. Salah satu pertanyaan dari calon awardee adalah mengenai social project yang dilakukan angkatan 144. Masyitoh Anis yang berencana kuliah di University of Warwick menanyakan mengenai bagaimana memulai social project yang akan membangun sebuah yayasan bernama Santri Foundation untuk mewadahi semua golongan umat Islam tanpa memandang afiliasi.

Pertanyaan tersebut dijawab narasumber bahwa tidak mungkin menyatukan semua organisasi masyarakat Islam. Meskipun demikian, perkuat mereka dengan tasamuh, tawazun dan taawun. Perbedaan tidak menjadi masalah selama wasathiyah karena mereka mempunyai karakter masing-masing. Inilah yang menjadi legacy di Indonesia. Masalah muncul ketika ada yang menganggap kelompoknya paling benar. Indonesia mulai gaduh karena ada yang mengklaim harus Islam dari Timur Tengah. Untuk memperbaiki Indonesia, nilai-nilai Islam yang benar harus ditegakkan.

* Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE (lahir di Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 4 Maret 1955; umur 64 tahun) adalah akademisi Muslim asal Indonesia. Sekarang beliau menjabat sebagai Dewan Penasehat LPDP, Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan Presiden Asosiasi Muslim International Asia. Ia juga dikenal sebagai cendekiawan muslim. Azyumardi terpilih sebagai Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1998 dan mengakhirinya pada 2006. Pada tahun 2010, dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire, sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris. Azyumardi memulai karier pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, ia mendapakan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Ia memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tetapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA pada 1989. Pada 1992, ia memeroleh gelar Master of Philosophy (M.Phil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries.Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press). Kembali ke Jakarta, pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College. Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada Universitas Filipina dan Universitas Malaya, Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.

Keberhasilan tidak diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak akan bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)

Post a Comment

0 Comments