Habiburrahman
El-Shirazy* - Pertama-tama, Kang Abik membawa para peserta untuk merefleksikan diri
dan mengingat kembali sejarah para santri dan kiprahnya di tanah air sebagai
wujud pengabdian nyata. Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang sangat
menginspirasi dan mampu menjadikan para peserta untuk selalu merefelksikan diri
dan sadar bahwa posisi santri bukan hanya posisi yang enteng dan untuk
bermain-main saja, akan tetapi lebih dari itu para santri dituntut untuk mampu
memiliki jejaring dan mampu berkomunikasi dengan elegan pada setiap kondisi dan
bisa menyesuaikan terhadap dinamika perubahan Nusantara. Shalawat Nabi
disenandungkan bersama-sama menjadikan suasana menjadi syahdu.
Para santri harus
mampu menjadi lentera yang menerangi kegelapan di kanan-kirinya, menjadi motor
penggerak dan motivator menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Kang Abik kembali
beliau mengingatkan kembali pada para peserta bahwa kiprah para santri sejak
zaman dahulu mampu membuat jejaring dan menjadi seorang yang mempunyai banyak
manfaat bagi sesamanya, bahkan ikut andil besar dalam proses kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelum membahas
inti topik di atas, Kang Abik memulai dengan menukil mahfudzat خيراكلام ما قل و دل,
yakni sebaik-baiknya perkataan adalah yang sedikit dan bermakna. Sosok yang pakar dalam mengucapkan
perkataan tersebut adalah Rasulullah, SAW. yang disebut dengan Jawami’ul
kalim.
Selanjutnya kang melanjutnya dengan
mengupas asal muasal Ashab Al-Jawiyyin. Kata Al-Jawiyyin memiliki
makna Nusantara, Pattaya, Singapura, dan Semenanjung Melayu pada abad ke-16
sampai ke-17. Makna Ashab Al-Jawiyyin adalah jaringan para santri Jawa
(nusantara) yang sedang belajar di Hijaz. Santri diharapkan meneladani
kemampuan para Mazhab Al-Jawiyyin yakni keterampilan berkomunikasi dan
berjejaring.
Dalam Jurnal Islamic Studies 2 I:
121 -140, S.Q. Fatimi (1963) menulis hasil penelitiannya “Two Letters from
Maharaja to the Khalifah”. Kesimpulannya, berdasarkan sumber-sumber
Arab yang kredibel ada surat-menyurat antara raja pra-Islam di Nusantara yaitu
Sri Indrawarman, Raja Sriwijaya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 –
720). Surat menyurat itu membuktikan adanya komunikasi awal antara Nusantara
dan Timur Tengah.
Samudera Pasai
adalah kerajaan Islam pertama yang berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13.
Pada masa ini hubungan dengan Timur Tengah semakin mapan. Sumber penting dari
catatan klasik Hikayat Raja-Raja Pasai, menjelaskan datangnya
ulama dari Makkah, Syaikh Ismail untuk mengajar ngaji di Kerajaan Samudera
Pasai (Hill, 1960 : 120).
Hubungan Timur
Tengah dengan Nusantara semakin kuat pada abad ke-17 dengan terbentuknya sebuah
Jaringan Ulama Nusantara yang nyantri di Makkah. Prof. Azyumardi Azra
menuliskan hal ini dengn detil dalam disertasi doktornya. Ulama Nusantara awal
yang membentuk jaringan yang dikenal “Ashab Al Jawiyyin” atau “Lingkaran
Komunitas Jawi” di Hijaz, meliputi :
Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (w. 1608)
Nuruddin Ar-Raniri
lahir di Gujarat. Ibunya Melayu. Belajar di Makkah dan Hadramaut. Gurunya
seorang sufi besar dari Hadramaut yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban
Al Tarimi Al Hadrami (w. 1656). Gurunya memintanya untuk mengembara ke Samudra
Pasai. Ar-Raniri mengepalai Syaikhul Islam (1637) di Samudera Pasai di bawah
pemerintahan Raja Iskandar Tsani. Ar-Raniri tanpa kompromi memerangi faham
Wahdatul Wujud. Ar-Raniri tersingkir dari Aceh setelah kedatangan Saiful Rijal.
Saat itu sultan baru, Tajul Alam Safiatuddin Syah mendukung Saiful Rijal yang
pro Wahdatul Wujud. Syaikh Ar-Raniri menyingkir ke Ranir terus menulis
pemikirannya dan disebarkan di Nusantara. Salah satu muridnya adalah Abdul Rauf
Al Sinkili. Kini nama Ar-Raniri diabadikan sebagai nama UIN Ar-Raniri Aceh
Syaikh Abdurrauf Al-Sinkili (1615-1693)
Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili
lahir di Singkil, Aceh, 1615. Ia adalah salah satu murid Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri. Belajar dari kasus Ar-Raniri, Al Sinkili lebih lunak
dan kompromis. Sikapnya didukung gurunya di Hijaz, Syaikh Ibrahim Al Kurani.
Nanti Al Sinkili diangkat jadi Hakim Agung berjuluk Kadi Malikul Adil di
Aceh oleh Tajul Alam Safiatuddin, sekirar 1661. Al Sinkili pergi nyantri ke
Hijaz tahun 1642. Al Sinkili, salah satu santri yang jadi pemikir penting di
Nusantara dan menuliskan pemikirannya dalam 20 kitab mencakup pelbagai ilmu,
terutama ilmu keislaman. Syaikh Abdurrauf Al Sinkili adalah pembawa Tarikat
Sattariyah di Nusantara. Perlu di catat, hampir sebagian besar raja-raja di
Nusantara, terutama Sumatera dan Jawa mengikuti Tarekat Sattariyah, termasuk
Pangeran Diponegoro.
Syaikh Yusuf
Al-Maqosari (1627-1699)
Yusuf Al Maqosari, lahir di Makassar.
Nyantri di Makassar lalu ke Aceh, kemudian ke Ranir di mana ia belajar pada Nuruddin
Ar-Raniri waktu tersingkir dari Aceh. Kemudian belajar di Hijaz. Pulang dari
Hijaz dalam perjalanan ke Makassar singgah di Banten. Syaikh Yusuf Al Maqosari
akhirnya dekat dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia menikahi salah satu anak
perempuna sultan. Ia tidak bisa diam melihat apa yang dilakukan VOC Belanda. Ia
mengobarkan perlawan melawan Belanda baik di Makassar maupun di Banten. Syaikh
Yusuf Al Maqosari juga dikenal memiliki karya tulis yang banyak dan berkualitas.
Setelah
mereka (Ar-Raniri, Al Sinkili, Al Maqosari) lahir : Nawawi Al Bantani, Manfudz
At Tirmasi, Abdus Somad Al Palimbani, Ahmad Khatib Sambas dari Borneo, Abdul
Gani Bima dari Sumbawa, Ahmad Khatib Al Minankabawi, Sholeh Darat, Khalil
Bangkalan, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Munawir Krapyak, dsb. Selain Makkah ,
saat itu para santri membuat Jaringan di Kairo. Ali Mubarak dalam, Al Khittah
al Taufiqiyyah (1889), mencatat keberadaan para pelajar Jawi di Al Azhar dan
bertempat tinggal khusus di Al Riwaq Al Jawi . Di kemudian hari para pelajar
di Kairo itu nantinya punya andil besar dalam mendorong Mesir dan Palestina
mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia. Mesir dan Palestina dikenal sebagai
negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan itu memiliki arti yang
sangat penting bagi diplomasi dan kedaulatan RI.
Pada
akhir pemaparannya Kang Abik mengulas tentang karya-karya klasik yang ditulis oleh santri, yang
menunjukkan kepiawaian mereka dalam berkomunikasi. Salah satu karya fenomal
yang ditulis seorang santri klasik Nusantara Taj Al Salatin.
Ditulis oleh Bukhari Al-Jauhari dari Aceh, kira-kira tahun 1603. Kitab ini
dianggap salah satu teks sastra penting, sekaligus kitab penting yang menjadi
panduan bagi para raja. Peter Carey mencatat, kitab ini tidak hanya digunakan
di Aceh tetapi juga di Jawa. Menurut Carey, Taj Al Salatin bahkan
disalin di Keraton Yogyakarta pada tahun 1831 dan digunakan oleh Sultan
Hamengkubuwono dalam menjalankan pemerintahannya. Kitab ini juga popular di
Makassar dan kerajaan lainnya. Taj Al Salatin dirumuskan
berdasarkan kitab Nasihat Al Mulk karya Imam Al Ghazali. Kitab itu menjadi rujukan seluruh ulama
nusantara dan menjadi rujukan seluruh ulama nusantara.
*Habiburahman El-Shirazy, Lc.Pg.D., MA,
lahir di Semarang, 30 September 1979.
Novelis terkenal ini biasa dipanggil Kang Abik yang memiliki banyak prestasi
nasional dan internasional terutama pada bidang kepenulisan. Karyanya banyak
yang telah difilmkan antara lain Ayat-Ayat Cinta (2004) dan
Ketika Cinta Bertasbih (2007). Beliau biasa mengisi
pemateri pada Persiapan Keberangkatan LPDP, merupakan alumni LPDP PK-115 jurusan hadis di Al-Azhar Kairo, Mesir.
Keberhasilan tidak
diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya
keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana
pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah
kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak
akan bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)
0 Comments