Ashab Al-Jawiyyin dan Taj Al-Salatin: Strategi Komunikasi dan Networking Santri Klasik (Part 4)

Habiburrahman El-Shirazy* - Pertama-tama, Kang Abik membawa para peserta untuk merefleksikan diri dan mengingat kembali sejarah para santri dan kiprahnya di tanah air sebagai wujud pengabdian nyata. Nabi Muhammad SAW merupakan sosok yang sangat menginspirasi dan mampu menjadikan para peserta untuk selalu merefelksikan diri dan sadar bahwa posisi santri bukan hanya posisi yang enteng dan untuk bermain-main saja, akan tetapi lebih dari itu para santri dituntut untuk mampu memiliki jejaring dan mampu berkomunikasi dengan elegan pada setiap kondisi dan bisa menyesuaikan terhadap dinamika perubahan Nusantara. Shalawat Nabi disenandungkan bersama-sama menjadikan suasana menjadi syahdu.

Para santri harus mampu menjadi lentera yang menerangi kegelapan di kanan-kirinya, menjadi motor penggerak dan motivator menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Kang Abik kembali beliau mengingatkan kembali pada para peserta bahwa kiprah para santri sejak zaman dahulu mampu membuat jejaring dan menjadi seorang yang mempunyai banyak manfaat bagi sesamanya, bahkan ikut andil besar dalam proses kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebelum membahas inti topik di atas, Kang Abik memulai dengan menukil mahfudzat  خيراكلام ما قل و دل, yakni sebaik-baiknya perkataan adalah yang sedikit dan bermakna. Sosok yang pakar dalam mengucapkan perkataan tersebut adalah Rasulullah, SAW. yang disebut dengan Jawami’ul kalim.

Selanjutnya kang melanjutnya dengan mengupas asal muasal Ashab Al-Jawiyyin. Kata Al-Jawiyyin memiliki makna Nusantara, Pattaya, Singapura, dan Semenanjung Melayu pada abad ke-16 sampai ke-17. Makna Ashab Al-Jawiyyin adalah jaringan para santri Jawa (nusantara) yang sedang belajar di Hijaz. Santri diharapkan meneladani kemampuan para Mazhab Al-Jawiyyin yakni keterampilan berkomunikasi dan berjejaring.

Dalam Jurnal Islamic Studies 2 I: 121 -140, S.Q. Fatimi (1963) menulis hasil penelitiannya “Two Letters from Maharaja to the Khalifah”. Kesimpulannya, berdasarkan sumber-sumber Arab yang kredibel ada surat-menyurat antara raja pra-Islam di Nusantara yaitu Sri Indrawarman, Raja Sriwijaya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 – 720). Surat menyurat itu membuktikan adanya komunikasi awal antara Nusantara dan Timur Tengah.

Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama yang berdiri di Nusantara pada akhir abad ke-13. Pada masa ini hubungan dengan Timur Tengah semakin mapan. Sumber penting dari catatan klasik Hikayat Raja-Raja Pasai, menjelaskan datangnya ulama dari Makkah, Syaikh Ismail untuk mengajar ngaji di Kerajaan Samudera Pasai (Hill, 1960 : 120).

Hubungan Timur Tengah dengan Nusantara semakin kuat pada abad ke-17 dengan terbentuknya sebuah Jaringan Ulama Nusantara yang nyantri di Makkah. Prof. Azyumardi Azra menuliskan hal ini dengn detil dalam disertasi doktornya. Ulama Nusantara awal yang membentuk jaringan yang dikenal “Ashab Al Jawiyyin” atau “Lingkaran Komunitas Jawi” di Hijaz, meliputi :

Syaikh Nuruddin Ar-Raniri (w. 1608)
Nuruddin Ar-Raniri lahir di Gujarat. Ibunya Melayu. Belajar di Makkah dan Hadramaut. Gurunya seorang sufi besar dari Hadramaut yaitu Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban Al Tarimi Al Hadrami (w. 1656). Gurunya memintanya untuk mengembara ke Samudra Pasai. Ar-Raniri mengepalai Syaikhul Islam (1637) di Samudera Pasai di bawah pemerintahan Raja Iskandar Tsani. Ar-Raniri tanpa kompromi memerangi faham Wahdatul Wujud. Ar-Raniri tersingkir dari Aceh setelah kedatangan Saiful Rijal. Saat itu sultan baru, Tajul Alam Safiatuddin Syah mendukung Saiful Rijal yang pro Wahdatul Wujud. Syaikh Ar-Raniri menyingkir ke Ranir terus menulis pemikirannya dan disebarkan di Nusantara. Salah satu muridnya adalah Abdul Rauf Al Sinkili. Kini nama Ar-Raniri diabadikan sebagai nama UIN Ar-Raniri Aceh

Syaikh Abdurrauf Al-Sinkili (1615-1693)
Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili lahir di Singkil, Aceh1615. Ia adalah salah satu murid Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Belajar dari kasus Ar-Raniri, Al Sinkili lebih lunak dan kompromis. Sikapnya didukung gurunya di Hijaz, Syaikh Ibrahim Al Kurani. Nanti Al Sinkili diangkat jadi Hakim Agung berjuluk Kadi Malikul Adil di Aceh oleh Tajul Alam Safiatuddin, sekirar 1661. Al Sinkili pergi nyantri ke Hijaz tahun 1642. Al Sinkili, salah satu santri yang jadi pemikir penting di Nusantara dan menuliskan pemikirannya dalam 20 kitab mencakup pelbagai ilmu, terutama ilmu keislaman. Syaikh Abdurrauf Al Sinkili adalah pembawa Tarikat Sattariyah di Nusantara. Perlu di catat, hampir sebagian besar raja-raja di Nusantara, terutama Sumatera dan Jawa mengikuti Tarekat Sattariyah, termasuk Pangeran Diponegoro.
Syaikh Yusuf Al-Maqosari (1627-1699)
Yusuf Al Maqosari, lahir di Makassar. Nyantri di Makassar lalu ke Aceh, kemudian ke Ranir di mana ia belajar pada Nuruddin Ar-Raniri waktu tersingkir dari Aceh. Kemudian belajar di Hijaz. Pulang dari Hijaz dalam perjalanan ke Makassar singgah di Banten. Syaikh Yusuf Al Maqosari akhirnya dekat dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Ia menikahi salah satu anak perempuna sultan. Ia tidak bisa diam melihat apa yang dilakukan VOC Belanda. Ia mengobarkan perlawan melawan Belanda baik di Makassar maupun di Banten. Syaikh Yusuf Al Maqosari juga dikenal memiliki karya tulis yang banyak dan berkualitas.

Setelah mereka (Ar-Raniri, Al Sinkili, Al Maqosari) lahir : Nawawi Al Bantani, Manfudz At Tirmasi, Abdus Somad Al Palimbani, Ahmad Khatib Sambas dari Borneo, Abdul Gani Bima dari Sumbawa, Ahmad Khatib Al Minankabawi, Sholeh Darat, Khalil Bangkalan, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, Munawir Krapyak, dsb. Selain Makkah , saat itu para santri membuat Jaringan di Kairo. Ali Mubarak dalam, Al Khittah al Taufiqiyyah (1889), mencatat keberadaan para pelajar Jawi di Al Azhar dan bertempat tinggal khusus di Al Riwaq Al Jawi . Di kemudian hari para pelajar di Kairo itu nantinya punya andil besar dalam mendorong Mesir dan Palestina mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia. Mesir dan Palestina dikenal sebagai negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan itu memiliki arti yang sangat penting bagi diplomasi dan kedaulatan RI.

Pada akhir pemaparannya Kang Abik mengulas tentang karya-karya klasik yang ditulis oleh santri, yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam berkomunikasi. Salah satu karya fenomal yang ditulis seorang santri klasik Nusantara Taj Al Salatin. Ditulis oleh Bukhari Al-Jauhari dari Aceh, kira-kira tahun 1603. Kitab ini dianggap salah satu teks sastra penting, sekaligus kitab penting yang menjadi panduan bagi para raja. Peter Carey mencatat, kitab ini tidak hanya digunakan di Aceh tetapi juga di Jawa. Menurut Carey, Taj Al Salatin bahkan disalin di Keraton Yogyakarta pada tahun 1831 dan digunakan oleh Sultan Hamengkubuwono dalam menjalankan pemerintahannya. Kitab ini juga popular di Makassar dan kerajaan lainnya. Taj Al Salatin dirumuskan berdasarkan kitab Nasihat Al Mulk karya Imam Al Ghazali. Kitab itu menjadi rujukan seluruh ulama nusantara dan menjadi rujukan seluruh ulama nusantara.

*Habiburahman El-Shirazy, Lc.Pg.D., MA, lahir di Semarang, 30 September 1979. Novelis terkenal ini biasa dipanggil Kang Abik yang memiliki banyak prestasi nasional dan internasional terutama pada bidang kepenulisan. Karyanya banyak yang telah difilmkan antara lain Ayat-Ayat Cinta (2004) dan Ketika Cinta Bertasbih (2007). Beliau biasa mengisi pemateri pada Persiapan Keberangkatan LPDP, merupakan alumni LPDP PK-115 jurusan hadis di Al-Azhar Kairo, Mesir.

Keberhasilan tidak diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak akan bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)

Post a Comment

0 Comments