Harta
yang paling berharga bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Saripati nilai
luhur yang dijadikan pandangan hidup dalam mengolah kekayaan alam dan budaya.
Senyuman menjadi wujud syukur rakyat dalam hidup bermasyarakat. Hidup dalam
kesataraan bahwa tidak ada yang lebih superior antar-sesama manusia. Sadar
bahwa hanya ada satu kekuatan yang menguasai seluruh alam semesta, tak bisa diumpamakan
dan digambarkan oleh akal: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nilai
Pancasila telah mengakar dalam kehidupan jauh sebelum Pancasila dicetuskan.
Nilai yang berasal dari rakyat, bukan ciptaan atau karangan seorang tokoh
tertentu. Oleh karena itu kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sebagai
sumber kebijaksanaan hasil dari permusyawaratan. Bahwa segala masalah,
pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa diselesaikan dengan musyawarah
untuk mencapai mufakat.
Pancasila
bukanlah agama, melainkan kesepakatan hidup bernegara dalam keberagaman dan
keber-agama-an. Rakyat tidak semestinya dibenturkan dengan terminologi agama
seperti kafir dalam Islam, maitrah dalam Hindu, abrahmacariyavasa
dalam Buddha atau domba yang tersesat dalam Kristen. Rakyat adalah sebutan
bagi penduduk Indonesia dan memiliki persamaan di depan hukum. Indonesia
mengakui enam agama yaitu Hindu, Buddha, Katholik, Kristen, Konghucu dan
Penghayat. Oleh karena itu, terminology agama seyogyanya tidak digunakan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa meniadakannya. Terminologi agama
tersebut tetap digunakan di agama masing-masing dan tidak merubah satu pun
ajaran agama.
Kafir
Indonesia
sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia menjadi
percontohan dalam merawat perbedaan menjadi rahmat. Bhinneka Tunggal Ika
berhasil menyatukan perbedaan tanpa berusaha menyamakan atau meyeragamkan,
karena perbedaan sebagai fitrah manusia untuk saling mengenal.
Tidak
ada paksaan dalam beragama. Paksaan tersebut bisa berupa ancaman atau
kekerasan, sehingga bisa dimaknai bahwa tidak ada agama dalam kekerasan. Orang
yang melakukan kekerasan sebenarnya tidak beragama sekalipun mengaku memeluk
agama tertentu. Meskipun dalam Islam mengenal istilah taubat, namun orang yang
melanggar hukum tetap wajib menerima konsekuensi terhadap apa yang
dilakukannya.
Al-Quran
sebagai kitab suci umat Muslim dengan sastra Arab yang cukup tinggi. Ketinggian
tata bahasa Al-Quran seringkali tak mampu dipahami oleh umat muslim secara
sempurna. Sehingga menyebabkan terciptanya kelompok-kelompok berdasarkan
pemahaman masing-masing terhadap kitab suci.
Sepanjang
sejarah umat muslim ada beberapa perbedaan sikap kelompok-kelompok dalam
menyikapi status kafir. Khawarij menganggap orang Islam yang melakukan
dosa besar adalah kafir sehingga harus dibunuh, Syiah, Murjiah
menganggap bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak kafir, Qadariyah,
Syiah dan Muktazilah menganggap orang yang berdosa besar tidak kafir
dan bukan mukmin, tetapi fasiq yaitu kekal di neraka. Dan
Sunni menganggap bahwa orang yang melakukan dosa tetaplah mukmin. Di
antara beberapa pendapat kelompok tersebut, yang paling berbahaya ketika hidup
di Indonesia adalah Khawarij yang mengharuskan membunuh non-muslim dan
pelaku dosa besar. Di Indonesia, sudah tidak ada lagi yang menentang atau
mengancam umat Muslim karena Non-Muslim hidup berdampingan dengan umat Muslim,
bahkan saling bertanggung jawab dalam hidup bernegara.
Fasisme dalam
Islam
Rakyat
sebagai supremasi tertinggi di Indonesia. Supremasi tersebut diatur sedemikian
rupa sehingga membentuk tatanan negara yang berkeadilan sosial. Warga sipil
atau militer dibedakan sesuai dengan fungsinya. Warga sipil sebagai masyarakat
umum yang bukan termasuk angkatan bersenjata, sedangkan militer sebagai anggota
masyarakat yang dididik secara khusus untuk mempertahankan negara. Oleh karena
itu secara kelembagaan, militer tidak perlu masuk dalam tata kelola kenegaraan
karena senjata tidak bisa digunakan untuk berdebat atau bermusyawarah. Hal ini
bukan berarti anggota militer tidak boleh menjadi pejabat sipil, tetapi harus
pensiun terlebih dahulu.
Betapa
mengerikannya ketika kelembagaan militer dilibatkan dalam kepemimpinan sipil.
Senjata akan berkuasa penuh dalam melanggengkan kekuasaan, membungkam mulut
rakyat sipil yang tak bersenjata. Demokrasi akan menjadi anak tiri republik dan
kehidupan bagaikan penjara terbuka yang miskin kreatifitas.
Dalam
kepemimpinan umat Islam pernah suatu ketika dipimpin oleh seserang dengan latar
belakang militer serta menjadikan kelembagaan militer untuk melanggengkan
kekuasaan. Parahnya ketika kekuasaan tersebut tidak mentolerir perbedaan yang
ada di masyarakat, senjata membungkam mulut rakyat sipil. Mengancam keselamatan
seorang ulama’ besar, Imam Ahmad bin Hanbal. Di Indonesia, kelembagaan militer
pernah berkuasa dan membuat demokrasi seakan mati suri. Setelah kekuasaan
tersebut berhasil diruntuhkan, akankah generasi sekarang akan menghidupkan
kembali?
0 Comments