Dalam rangka memperingati Hari
Santri Nasional, Ponpes Darul Ihsan selenggarakan studi kebangsaan menauladani
spirit kebangsaan pahlawan dan para santri yang berjuang melawan penjajahan
(25/10). Kegiatan ini bertujuan untuk mendidik generasi muda agar senantiasa
mengingat sejarah dan membekali santri supaya tidak mudah terprovokasi oleh
kelompok yang menggunakan agama sebagai tameng politik.
Fundamentalisme sebagai gerakan
atau paham yang 'seakan-akan' berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar
atau fundamen. Paham ini sering berbenturan dan menganggap kelompoknya lebih
murni dari kelompak lain bahkan dalam lingkungan agamanya sendiri. Seringkali
mereka mencoba meraih kekuasaan politik untuk memaksakan apa yang dianggapnya
benar. Simbol-simbol agama seakan-akan menjadi symbol pergerakannya sehingga
siapa pun yang berusaha melawan gerakannya dianggap melawan agama secara umum.
Pengikutnya biasanya tidak mempunyai pemahaman agama yang mumpuni atau
menggunakan pola piker (eksakta) untuk memahami agama. Saya menyebutnya
orang-orang yang tertipu.
Sedangkan cosmopolitan adalah
paham yang menyatakan bahwa semua manusia merupakan satu komunitas tunggal yang
memiliki moralitas sama. Nilai-nilai inklusif membuat paham ini diterima di
semua kalangan dan mampu menyesuaikan diri dalam menghadapi setiap perubahan. Semboyannya, mempertahankan
budaya lama yang baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik.
Situs yang menjadi tujuan
pertama perjalanan ini adalah kompleks pemakaman Gus Dur. Lokasinya terletak di
Pesantren Tebuireng, Jombang. Di kompleks ini ada banyak makam, namun setidaknya
ada tiga tokoh yang jalan hidup dan pemikirannya perlu diteladani yaitu K. H.
Hasyim Asy’ari selaku deklarator Resolusi Jihad sebagai penggerak para santri
melawan penjajahan. Beliau mengintegrasika antara agama dan negara,
nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.
Kemudiaan sosok Gus Dur yang
seorang Kiai juga seorang Presiden. Cara belajarnya sangat menarik untuk
diteladani oleh generasi muda. Dan juga Mbah Ali Maksum seorang ahli falak
penyusun kitab Amtsilah Tashrifiyah yang fenomenal di kalangan pesantren.
Ketiga tokoh tersebut sebagai inspirasi generasi milenial untuk melanggengkan
aksi bela tauhid berwujud tahlilan.
Perjalanan dilanjutkan menuju
situs Bung Karno, Blitar. Di sini ada tiga tempat yang harus dikunjungi oleh
para peziarah, yaitu museum, perpustakaan dan pesarean. Museum menyimpan
barang-barang yang berhubungan dengan Bung Karno. Yang menarik bagi saya dari
sekian ratus koleksi museum ini adalah tulisan terakhir Bung Karno di sebuah
kain menggunakan tinta darah, yang bertuliskan: “Pertahankan revolusi di atas
relnya yang asli”. Manuskrip kuno dan karya tulis Bung Karno yang tersimpan
dalam perpustakaan menjadi rujukan yang tak boleh ditinggalkan. Dan pesarean
sebagai wahana refleksi diri bahwa tidak ada kekuatan satu pun kecuali Yang
Esa.
Tidak jauh dari kompleks
pemakaman Bung Karno, ada Istana Gebang yang dulu menjadi tempat tinggal Bung
Karno. Dalam kutipan yang tertempel di pintu masuk rumah ini menuliskan Bung
Karno selalu mengunjungi rumah ini untuk mengunjungi ibunya, Ida Ayu Nyoman
Rai. Sejauh perjalanan seorang anak, maka tempat kembali adalah kepada Sang
Ibu. Perjalanan selanjutnya dilanjutkan ke kompleks Candi Penataran. Luas candi
ini menjadi yang terbesar di Jawa Timur dan menjadi icon kebudayaan.
Perjalanan bukan sekedar
perpindahan tanpa arti, melainkan menjaga momentum hijrah dalam hati.
0 Comments