Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, kami memulai catatan sederhana ini dengan
menyadari dengan penuh kesadaran bahwa setiap kelahiran adalah special. Tidak
ada ciptaan yang diciptakan percuma tanpa guna, karena segala sesuatu pasti ada
hikmahnya. Setiap jiwa yang terlahir ke dunia sebagai warna baru kehidupan dan
berhak mewarnai hidup sesuai dengan versinya masing-masing.
Tidak ada hitam tanpa potensi putih
dan tidak ada putih tanpa potensi hitam, bahwa segala yang ada di dunia
hanyalah kebenaran semu sedangkan kebenaran mutlak hanyalah Yang Esa: tan
kena kinaya ngapa. Kesadaran tersebut sebagai sebab, yang membawa akibat
bahwa tidak ada superioritas antarmakhluk. Tidak ada yang lebih baik dari yang
lain, yang ada hanyalah menjadi lebih rendah karena merasa lebih baik dari yang
lain. Allahu Akbar, sebagai pondasi kesadaran bahwa Allah lah satu-satunya Yang
Maha Besar atas segala sesuatu.
Oleh karena itu, untuk benar-benar
meyakini dan memahami ‘Allahu Akbar’ perlu pendidikan yang menyadarkan bahwa
setiap orang adalah guru, setiap kesempatan adalah waktu belajar dan setiap
tempat adalah ruang rindu persahabatan. Bahwa tugas manusia tidak untuk pintar,
melainkan untuk terus belajar. Belajar mencintai apa yang dipelajari, belajar
menekuni apa yang disukai dan belajar memahami apa yang tidak dikuasai. Sebagai
dasar dalam proses menyusun pola kebermanfaatan.
Kesadaran tentang makna sebuah
penciptaan memberikan pemahaman bahwa setiap jiwa tak layak diperbandingkan,
baik kualitas maupun kuantitas. Sederhananya, tidak ada kalah-menang. Semua
berjalan sesuai versinya masing-masing, yang terpenting sebenarnya adalah
bagaimana menjadi lebih baik dari diri sendiri. Memastikan bahwa hari ini lebih
baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini. Oleh karena
itu, dalam tradisi Jawa semua hal, kondisi maupun peristiwa adalah proses belajar,
perjalanan kemenyatuan. Apapun nama institusi tempat seseorang belajar, manusia
harus melalui 4 tahap: Margautomo, Malioboro, Margamulyo dan Pangurakan.
Kemudian dijabarkan dalam sebuah kesenian yang dikenal sebagai tembang macapat
yang menceritakan perjalanan hidup manusia mulai dari lahir hingga kembali
kepada Yang Esa. Maka, pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang
menyadarkan, peserta didik mengenali dirinya sendiri sebagai jalan mengenali
Tuhannya. Man Arafa Nafsahu Faqah Arafa Rabbahu.
Sistem ranking mengalami degradasi
makna. Angka-angka yang pada mulanya berfungsi sebagai alat introspeksi diri
menjadi sesuatu yang menjelma sebagai alat memperbandingkan ciptaan. Tak bisa
dipungkiri bahwa ‘efek samping’ adanya sistem rangking di masa kini adalah
peserta didik merasa gagal melihat keberhasilan temannya, merasa kalah melihat
kemenangan saudaranya dan merasa bodoh melihat kepintaran sahabatnya. Terlepas
dari efek samping tersebut, sudah selayaknya para praktisi, pemerhati dan
peneliti pendidikan serta orang tua sadar bahwa setiap ciptaan adalah special
dan tak layak diperbandingkan. Tugas dari para guru sebagai jembatan,
mengantarkan peserta didik menuju dunia yang akan ditekuninya. Maka penyebutan
istilah “siswa bermasalah” sebenarnya adalah alibi yang digunakan untuk
menutupi ketidakmampuan guru sebagai jembatan penghubung.
Dalam hal ini saya bereksperimen
mengelompokkan tingkat konsentrasi peserta didik dalam upaya menjembatani atau
berusaha menemukan dunia peserta didik yang mungkin akan ditekuninya di masa
depan sesuai dengan karakter konsentrasinya. Pengelompokan dimulai dengan
mencari persamaan antarteman. Saya mengelompokkan peserta didik dengan
membebaskan anak memilih sendiri anggota kelompoknya. Kebebasan tersebut
didasari bahwa manusia akan dipertemukan dengan orang-orang yang mempunyai
karakteristik, kebiasaan atau pola piker yang relative sama. Kelompok-kelompok
tersebut dinamai dengan nama bunga-bunga, diantaranya Dahlia, Orchid, Lotus,
Sunflower, Rose dan Jasmine (penjelasan detail tentang kelompok ini bisa
dilihat di www.englishsuperleague.blogspot. com).
Pada akhirnya, kebenaran, kebaikan
dan keindahan sangat diperlukan dalam menyampaikan dan menyikapi informasi yang
datang. Harapannya, lebih dewasa dalam menghadapi sesuatu dalam membentuk
manusia paripurna. Sadar bahwa hidup adalah proses belajar yang tak ada batasnya.
Dan menyadari bahwa tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Cukup iblis yang
merasa lebih baik dari sesame makhluk.
Hipotesa awal ini diharapkan mampu
memberikan inspirasi terhadap para peneliti untuk mengembangkan riset
pendidikan yang masih memprihatinkan. Produk dari riset adalah pengetahuan.
Karena itu, riset hanya akan maju di masyarakat yang menghargai dan haus akan
pengetahuan. Di bidang pendidikan, terutama penghargaan mungkin lebih jauh
tertinggal dibanding bidang lain. Kalau kebijakan sepenting kurikulum nasional
dan system seleksi masuk sekolah saja bisa dibuat tanpa merujuk pada hasil
penelitian, sulit berharap bahwa riset pendidikan akan maju. Meskipun demikian,
sulit tidak berarti mustahil untuk dilakukan.
Salam,
Catatan
Kangguru!
0 Comments