Sabda Gunung Agung



Gunung Agung sedang bersabda, mengingatkan semua orang tentang arti keseimbangan. Setelah letusan yang terjadi beberapa tahun silam, tanah sekitar Gunung Agung menjadi sangat subur. Tanaman tumbuh menghijau dan berbagai material vulkanik dimanfaatkan oleh warga sekitar.

Kini, Gunung Agung kembali mengalami erupsi, setelah beberapa pekan yang lalu memberikan ketidakpastian kepada banyak orang. Warga sekitar mengungsi, wisatawan menjauh, bisnis pariwisata menurun drastis dan pemerintah berusaha memahami alam dan manusianya. Para relawan dan donator berusaha membantu, menghibur dan membersamai para pengungsi dalam memahami sabda Gunung Agung.


Selepas menunaikan shalat jamak-qasar, saya duduk di serambi masjid yang berhadapan langsung dengan sebuah tebing yang menjulang tinggi. Sambil menyaksikan keindahan tebing dan beberapa orang yang bekerja di halaman masjid. Dalam hati saya heran, ternyata Bali bukan sekedar tentang wisata, budaya dan Hindu. Ketika kita mengunjungi daerah sekitar Gunung Agung, kita akan lebih memahami kenapa warga Bali menolak reklamasi yang akan dilakukan di teluk Benoa.


Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Kali ini Tuhan memberikan episode kehidupan dengan melangkahkan kaki ini menuju sebuah tempat yang penduduknya sedang berduka. Meninggalkan rumah dan harta benda untuk menyelamatkan nyawa, dari letusan Gunung Agung yang sedang menyeimbangkan diri.




Masih di serambi masjid, saya teringat perjalanan menuju tempat ini yang penuh dengan kelalaian. Perjalanan ini mempertemukanku dengan empat orang sahabat. Fajri, rekan ketika menjalankan program Ekspedisi Nusantara Jaya tahun 2016 wilayah Jawa Timur. Dina, mahasiswa ilmu gizi fakultas kedokteran Universitas Brawijaya. Pandu dan Ika sebagai relawan yang lebih dahulu berada di lokasi pengungsian.

Perjalanan ini bermula dari Surabaya. Saya yang mendapatkan amanah untuk rapat koordinasi persiapan hari Bela Negara di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Timur, tertinggal kereta menuju ke Malang. Akhirnya, perjalanan berganti menggunakan bus yang lebih fleksibel. Kelalaian pertama mengawali perjalanan panjang ini, he he he he.

Kami berkumpul di Malang, berangkat dari Stasiun Malang bersama rombongan. Dalam penantian menunggu dua orang yang tak kunjung datang, saya menyaksikan aktivitas orang-orang di sekitar stasiun. Mulai para penjual yang menjajakan dagangannya, tukang parkir yang sibuk menata kendaraan, dan tentu calon penumpang yang beraneka ragam latar belakangnya.

Kedatangan Fajri memecahkan lamunan, sudah lama kita tak berjumpa. Terakhir kali bertemu ketika perjalanan Ekspedisi Nusantara Jaya 2016 di Kepulauan Masalembu. Waktu keberangkatan kereta tinggal beberapa menit. Namun si Dina tak kunjung datang. Akhirnya kami pun memutuskan untuk memasuki gerbong dan menitipkan tiket milik Dina ke penjaga loket. Kami berusaha menghubunginya. Akhirnya, ketika kereta ini mulai berjalan perlahan, Dina baru sampai di depan stasiun.

Sambil menenangkan diri, kami mencoba untuk mencari solusi terbaik untuk Dina. Sampai pada akhirnya, ada kabar gembira darinya. Atas saran dari petugas penjaga loket, Dina disarankan untuk membeli tiket jurusan Bangil. Kereta ini akan berhenti lama di stasiun Bangil untuk mengganti kepala kereta. Mendengar jawaban tersebut, kami merasa lega.

Satu per satu stasiun telah dilalui, dan sampailah di Stasiun Bangil. Saya berusaha mencari sosok Dina. Yah, sebelumnya memang kita belum pernah bertemu. Kita terbantu oleh teknologi modern. Sambil clingak-clinguk, saya mencari Dina disekitar kereta. Sampai pada akhirnya ada seorang perempuan dengan barang bawaan yang cukup banyak dibantu oleh petugas stasiun. Di depan pintu kereta, saya menyapanya untuk memastikan tidak salah orang, sambil menerima koper dari bapak petugas stasiun.

Perjalanan menjadi menarik. Kami saling bertukar pikiran. Tentang pengalaman ekspedisi dan bagaimana usaha kita sampai di sini. Walau saya dan Fajri telah saling kenal sebelumnya, tapi obrolan masih cukup menarik karena lama kita tidak bertemu. Satu peserta pun bergabung bercerita, menambah kehangatan suasana malam ini. Seorang anak dari penumpang sebelah.

Waktu semakin malam. Di jendela kereta hanya tampak pantulan gambar di dalam kereta. Di luar hanya tampak gelap dan sesekali terlihat bola lampu rumah dan kendaraan bermotor yang terhenti di perlintasan kereta api. Kami mulai merebahkan diri, mencari tempat-tempat kosong untuk mengistirahatkan tubuh. Sesekali saya berbicara dengan bapak-bapak di hadapanku.

Tak menunggu lama, kereta berhenti di stasiun terakhir, stasiun ujung timur Pulau Jawa. Ketika turun dari kereta, suasana stasiun tampak lengang. Matahari pun belum ada tanda-tanda akan menampakkan diri. Kami istirahat sejenak di musholla, membersihkan badan dan menuntaskan kewajiban ibadah yang tertunda.

Ketika matahari mulai terbit, kami pun bergerak keluar dari stasiun menuju pelabuhan yang berada tidak jauh dari stasiun. Seorang penjual kaki lima berhasil membujuk kami untuk menikmati nasi godong dengan sambel khas Banyuwangi. Setelah makan tiba-tiba seorang tukang becak menawari kami tumpangan hingga pelabuhan Ketapang. Kami pun menerimanya, berhubung barang donasi terlalu banyak, becak hanya cukup menampung satu orang dan semua barang bawaan. Ternyata, letak pelabuhan tidak seberapa jauh. Dan si bapak tukang becak menggratiskan untuk kami, katanya ini pelanggan pertama. Waaah, baik sekali bapaknya.

Kami mencari bus hingga sampai di Denpasar. Setelah kami mendapat tempat duduk, bus mulai memasuki pelabuhan dan perlahan memasuki kapal. Semua penumpang keluar menuju dek kapal, hanya beberapa yang masih tinggal di bus.

Subhanallah. Ini adalah ketiga kalinya saya mengunjungi Bali, namun ini yang terbaik. Suasana pagi ketika menyeberang ternyata menyuguhkan pemandangan yang sangat indah. Tampak 3 gunung berjajar ketika kapal mulai menyeberang. Tidak sedikit penumpang yang mengabadikan momen ini. Praktis, penyeberang terasa sangat sebentar. Dan ketika sampai di Pelabuhan Gilimanuk, bus melaju dengan kencang ditengah-tengah hijaunya persawahan.



Sampai di terminal Denpasar, suasana cukup bersih dan sepi. Ternyata ini adalah terminal yang baru beroperasi selama tiga bulan. Ini baru saya ketahui setelah pulang dari Bali. Kami terkejut dengan para kenek yang berebut penumpang, kami pun merasa dipermainkan. Akhirnya kami memutuskan untuk memesan moda transportasi online. Sama dengan situasi pada umumyan, Terminal adalah zona merah bagi transportasi online. Kami pun sempat berkejaran dengan sopir yang memaksa kami untuk naik armadanya dengan harga selangit.

Kami berhasil kabur dan menaiki mobil dengan sopir yang sangat ramah. Ongkosnya pun kita hanya membayar separo. Duh baiknya bapak ini. Ternyata lokasi yang kami tuju berada di ujung timur pulau Bali. Sejak pemberitaan Gunung Agung, praktis kunjungan wisatawan ke Bali menurun drastic. Sepanjang perjalanan, jalan raya cukup sepi dan kami pun tak menemui kemacetan.


Sesampai di Lapangan Mamed, lapangan dipenuhi tenda pengungsian. Kami disambut oleh para pengungsi dan dua sahabat yang telah lebih dulu disini. Awal kedatangan kami, semuanya tampak normal seperti pengungsian pada umumnya. Ada sekat-sekat yang tak tampak tapi begitu terasa, khususnya bagi orang-orang dewasa. Bagi anak-anak, saya rasa sekat itu tidak ada sama sekali. Semuanya tertawa bersama tanpa memandang perbedaan status.


Membersamai para pengungsi khususnya anak-anak mempunyai kesan dan kenangan tersendiri. Sebagai muslim, saya perlu menyesuaikan dengan warga setempat yang mayoritas memeluk agama Hindu. Tentu kisah-kisah di Al-Quran tidak mungkin saya sampaikan, perjuangan pahlawan bangsa ini sepertinya lebih menarik bagi anak-anak. Beberapa makanan olahan sapi juga tidak mungkin kami berikan di tempat ini. Beberapa warga mengembalikannya dan menukarnya dengan olahan kambing.

Kami sempat singgah di kawasan kampung muslim Bali. Istirahat sejenak di rumah salah seorang warga yang membantu kami selama di Bali. Mempelajari dan memahami atauran warga muslim sebagai minoritas. Peraturan sangatlah ketat bagiku. Menurut keterangan warga, muslim di sini yang menikah dengan orang non-muslim, tidaklah berhak kembali ke kampung sini. Jika orang tua ingin menemuinya, haruslah di luar wilayah kampung. Selain itu, hati-hati jika berkunjung ke kampung ini lewat jam 10 malam, karena siapa saja masih berkeliaran tanpa izin, akan langsung dinikahkan pada waktu itu juga. Akhirnya, semoga sabda Gunung Agung segera berakhir dan para pengungsi kembali hidup normal.


Post a Comment

0 Comments