Saalimulfikr: Padhang mBulan di Langit Lirboyo



Di bawah cahaya bulan purnama, sayup-sayup syair terdengar bergema dari setiap penjuru ruangan. Seakan menjadi penanda kehidupan yang penuh kedamaian, jauh dari riuhnya lalu lintas informasi hoax. Tak terlihat manusia-manusia penunduk yang sibuk dengan eksistensi negative dan lupa diri, yang tampak hanya senyuman-senyuman yang penuh dengan keramahan dan tatapan persahabatan. Peci, sarung, dan aksara gundul menjadi sebuah identitas sejauh mata memandang.

Untuk kesekian kalinya, saya berkunjung ke tempat ini: Lirboyo. Sebuah desa yang dipenuhi dengan berbagai lembaga pendidikan Islam. Orang-orang mengenalnya Ponpes Lirboyo. Kawasan yang setiap harinya dipenuhi lalu lintas kaum sarungan. Dan di malam ini, merahnya bulan purnama seakan menyambut setiap tamu yang datang, “Selamat Datang! Semoga Jawa Timur senantiasa di bawah bimbingan Ulama’.”

Pada kesempatan kali ini, saya bersama rombongan Tim Kiswah-Event turut meramaikan Konferwil Ulama’ Jawa Timur. Agenda lima tahunan ini ibarat menjahit kembali atau memperbaiki pakaian yang selama ini dikenakan. Pakaian ini yang membantu mengenali diri yang sejati, bukan menjadikan lupa diri mengabaikan atau merendahkan kemanusiaan dan seluruh ciptaan. Pakaian yang rusak perlu perbaikan-perbaikan untuk membimbing hati dan akal menuju insan kamil.

Dari lantai dua tempat kami beristirahat, tampak berseliweran para santri menuju tempat belajarnya masing-masing. Sementara langit menjadi saksi dan purnama semakin meneguhkan keagungan-Nya. Malam yang sempurna, berada di lingkungan positif menuju insan kamil.

Sejauh pengetahuan al-faqir, sosok insan kamil dalam sejarah diwakili oleh orang-orang yang mampu mendamaikan dua arus: saalimulfikr. Di bumi Nusantara ada sosok Hadratussyaikh K. H. Hasyim Asy’ari yang mendamaikan dua arus, kebangsaan dan keagamaan. Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan, Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan. Hubbul Wathon Minal Iman.

Di sisi lain, sosok Bung Karno juga mampu merumuskan dasar-dasar yang disarikan dari adat budaya Nusantara yang adiluhung: Pancasila. Sebuah dasar negara yang mengolaborasikan antara agama dan negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan dalam membentuk masyarakat yang berkeadilan social.

Sementara itu, sosok Imam Syafi’i dalam pengambilan hokum dengan mengombinasikan antara naqli dan aqli. Wahyu sebagai sumber inspirasi dan akal sebagai alat paling sempurna dalam mengolah sumber inspirasi tersebut (Al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas). Sama halnya seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dengan akidah Asy’ariyah (50 sifat).

Berbeda halnya dengan apa yang dialami Al-Ghazali, dua arus yang saling berseberangan itu antara kaum sufi dan fuqaha. Pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqh menyisakan peristiwa yang tak terlupakan. Al-Ghazali mampu mengawinkan antara hakikat dan syariat, tasawuf dan fiqh, dimana keduanya saling beriringan. Dan Al-Farabi, filsuf muslim pertama yang berusaha menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam, serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.

Akhirnya, semoga perjalanan hidup tokoh-tokoh di atas mampu menginspirasi dan membuat hidup kita semakin bermakna. Kita boleh tidak meyakini suatu hal, tapi menolak pengetahuan yang datang adalah pangkal kebodohan. Tugas kita tidak untuk khatam, melainkan untuk terus ngaji. Kewajiban kita tidak untuk pintar, melainkan untuk terus belajar. Prinsipnya, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Al-Muhaafadhatu ‘ala qadimish sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.

Post a Comment

0 Comments