Seolah telah menjadi pola yang
tersusun rapi setiap tahun, ketika musim mudik tiba jalanan menjadi sangat
ramai. Seakan menjadi aksi para perantau untuk berlomba-lomba kembali ke
kampung halaman. Tentu tidak ada manipulasi, semua aksi berdasar kesadaran diri
bahwa sejauh apapun seorang anak manusia melangkah, keberhasilan ditentukan
bagaimana seseorang kembali dan berkontribusi untuk kejayaan kampung
halamannya.
Spirit mudik menjadi sebuah
ritual social yang sangat dinantikan. Terlepas dari apapun agama dan sukunya,
kembali ke kampung halaman menjadi sesuatu yang sangat dirindukan. Menjadi
refleksi atas perjalanan hidup yang selama ini dijalani. Menyederhanakan
berbagai cerita cita dan cinta dalam sebuah narasi bernama halal bi halal.
Tidak perlu heran dan tergesa
ketika rentang waktu halal bi halal, perbincangan tidak jauh seputar perjuangan
mewujudkan cita dan kisah kasih membangun rumah tangga. Rendah hati dan terbuka
dengan segala manuver materialisme bisa menjadi kunci menjadi pribadi yang ramah
dan menyenangkan. Kesadaran paripurna bahwa tidak ada manusia sempurna yang
bebas dari salah dan lupa.
Mudik telah menjadi sebuah
kebutuhan umat manusia, sebagai puncak kesadaran diri, bukan ajang kontestasi
siapa yang lebih tinggi. Telah tercatat dalam lembar sejarah umat manusia,
kisah mudik dalam berbagai corak budaya atau ritual agama. Muhammad SAW bersama
sahabatnya mudik dalam peristiwa Fathu Makkah, Sidharta Gautama mudik setelah
tercerahkan dari kemelekatan dunia dan Maria mudik setelah mendapat kabar
gembira akan kelahiran seorang anak. Bahkan peristiwa berdarah yang tidak akan
ada habisnya disebabkan karena perebutan kampung halaman. Mudik berdarah ini
lebih dikenal dengan zionisme.
Tradisi mudik adalah integrasi
dari semangat cinta tanah air dan kesungguhan iman. Tidak berlebihan jika K. H.
Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa cinta tanah air sebagian dari iman, karena
nasionalisme dan agama adalah dua kutub yang tidak berseberangan, nasionalisme
bagian dari agama dan keduanya saling melengkapi.
Di samping itu, mudik merupakan
wujud bakti dan norma adat budaya Nusantara. Teori sejarah menyatakan bahwa
tidak ada masa sekarang tanpa adanya masa lalu, dan tidak ada masa lalu tanpa
adanya masa sekarang. Wujud bakti kepada orang tua dan kampung halaman perlu
dirawat dan dilestarikan sampai kapan pun. Beraneka ragam cara bisa dilakukan
seperti dengan menziarahi makam orang tua, menyebut namanya dalam tawassul,
mengadakan kenduren untuk mengingat jasa-jasanya dan masih banyak lagi.
Tradisi mudik sebagai muara dari
lima unsur kebenaran yang dinyatakan oleh Krishna, yaitu pengetahuan, cinta,
keadilan, pengabdian dan kesabaran. Seseorang yang mempunyai pengetahuan akan
sadar bahwa seberapa pun dan apa pun definisi kesuksesan, semua itu tidak akan
ada gunanya jika tidak menghormati orang tua, menziarahi makamnya, menyebut
namanya dalam doa dan senantiasa bersedekah untuk kebaikannya.
Cinta sebagai puncak tertinggi
pengetahuan manusia. Apapun latar belakang seseorang, selama memberikan manfaat
dan cinta kasih kepada sesama, orang tidak akan bertanya apa agama atau sukumu.
Wujud cinta kasih tersebut berupa senyuman yang menjadi ciri khas masyarakat Nusantara
dengan tutur kata lemah lembut. Prinsipnya, tak perlu menyalahkan orang lain
untuk menyebut diri sendiri paling benar dan tak perlu menjelekkan orang lain
untuk menyebut diri sendiri yang terbaik. Kesuksesan orang lain bukan berarti
kegagalan diri sendiri dan kebaikan orang lain bukan berarti aib diri sendiri.
Keadilan sebagai jalan menuju
kebenaran. Adil dalam berpikir akan membentuk keadilan dalam bersikap. Dan
kejujuran dalam berpikir akan membentuk kesehatan jasmani dan ketangguhan
mental. Hal tersebut akan sangat membantu dalam perjalanan mudik yang
membutuhkan perjuangan keras dengan kondisi fisik yang prima. Kematangan emosi
dipertaruhkan dalam menghadapi setiap kondisi.
Pengabdian sebagai dedikasi dan
ukuran kekuatan seseorang. Tanpa pengabdian, kebenaran hanyalah kata tanpa
bukti. Dan tanpa bukti, mudik hanyalah perjalanan tanpa arti. Maka sebenarnya
mudik adalah bagian dari proses menghamba. Dari manusia kepada dzat Yang Maha
Agung.
Kesabaran sebagai cara sederhana
memanusiakan manusia. Sebagai ukuran nilai dari tingkah laku manusia di tengah
kecepatan arus globalisasi. Bukan rahasia umum jika kesabaran berbanding
terbalik dengan kecepatan teknologi. Bahkan sebuah adagium menyatakan bahwa
semakin sabar seseorang mengejar sesuatu, maka akan semakin mendekat. Dan
sebaliknya, semakin tergesa seseorang mengejar sesuatu, akan semakin menjauh.
Oleh karenanya, jangan sampai niat baik mudik dilakukan dengan cara menyakiti
orang lain dalam perjalanan.
Akhirnya, tidak ada hitam tanpa
potensi putih dan tidak ada putih tanpa potensi hitam. Hitam putih kehidupan
sejatinya perjalanan mudik menuju kampung halaman akhirat. Mari mewarnai
perjalanan mudik dengan hal-hal bermanfaat, saling menolong dan senantiasa
mawas diri dari setiap godaan yang melalaikan. Selamat Mudik!
0 Comments