Sumber gambar: Jawa Pos |
Ketupat atau orang Jawa
menyebutnya ‘kupat’, merupakan tembung camboran tugel atau akronim yang
berasal dari ‘ngaku lepat’ (mengaku bersalah). Sudah menjadi kebiasaan
masyarakat Indonesia, ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, saling mengunjungi satu
sama lain untuk saling bermaafan. Memang meminta maaf tidak harus menunggu
lebaran, tetapi momentum tahunan inilah yang bisa mendamaikan dan mencairkan
suasana.
Ketupat ini saya mengenal pertama
kalinya ketika seusia SD. Setelah euphoria lebaran selesai, tepatnya tujuh hari
setelah lebaran, warga desa kembali berkumpul ke masjid merayakan Hari Raya
Kupatan sebagai symbol selesainya puasa syawal 6 hari. Ini hanya perayaan
simbolis, puasa syawal masih menemukan momentumnya hingga berakhirnya bulan
syawal.
Ketupat sendiri ternyata secara
historis sebagai symbol pengakuan kesalahan. Adanya symbol sebagai tanda keterbatasan
dan ketidakmampuan manusia yang diciptakan terbatas dan berbeda-beda. Waktu itu saya merasa
aneh ketika orang-orang datang ke masjid, dengan membawa ketupat yang sama dan saling tukar ketupat. Memang ada sebagian yang membuat seperti ayam-ayaman,
mereka menyebutnya ‘jekikrek’, ini yang biasa menjadi sasaran saya. Ternyata
pertukaran ketupat itu sebagai wujud memaafkan, penerimaan, dan keterbukaan.
Mengenai judul tulisan ini, ketupat
cingkrang merupakan pengalaman diri saya pribadi ketika pertama kali membuat
ketupat. Ketupat yang berbentuk segi empat beruang biasanya memiliki dua ujung
yang digunakan sebagai lubang untuk memasukkan beras, dan yang satunya sebagai
hiasan ekor atau sarana membuat simpul untuk digantung.
Waktu itu saya melihat
orang-orang sangat terampil dalam membuat ketupat. Menyaksikan lingkungan
sekitar, tangan saya tergerak untuk membuat hal yang sama. Namun tidak ada yang
membimbing, saya hanya melihat proses pembuatan mulai dari janur hingga
berbentuk ketupat. Alhasil, percobaan pertama gagal. Melihat lagi, percobaan
kedua berhasil namun tidak berbentuk ketupat. Melihat lagi, percobaan ketiga
berhasil, berbentuk ketupat, namun tidak mempunyai ekor, inilah ketupat
cingkrang. Beberapa kali saya mencoba, hasilnya tetap ketupat cingkrang. Ketupat cingkrang, hasil produk belajar tanpa bimbingan seorang guru.
Tentu tak pantas jika saya
menganggap ketupat cingkrang yang saya buat sebagai parameter kebenaran.
Apalagi jika saya menyalahkan atau menjelekkan hasil karya orang lain untuk
menyebut ketupat cingkrang yang terbaik. Beruntung saya masih kecil dan tidak
punya rasa malu untuk belajar kepada yang lebih ahli. Belakangan baru saya
sadari bahwa karakter manusia tempat saya dilahirkan adalah bagaimana menang
tanpa mengalahkan, benar tanpa menyalahkan dan tinggi tanpa merendahkan. Serta
tidak ada kata bodoh atau gagal, menurut masyarakat sekitar setiap proses merupakan
jalan menuju kesejatian diri karena setiap kelahiran adalah warna baru
kehidupan. Lebih baik menjadi diri sendiri secara tidak sempurna daripada
meniru warna orang lain secara sempurna.
Mengenai hal ini, sebuah karya
sastra yang berkembang di lingkungan tempat saya tumbuh sangat cocok dibaca dan
dipelajari kembali, berisi tentang falsafah kehidupan seperti tenggang rasa,
bagaimana menganut agama secara bijak, menjadi manusia seutuhnya dan menjadi
manusia berwatak ksatria.
Karya sastra tersebut berbahasa
dan beraksara Jawa, tulisan mengenai ajaran utama, dianggap sebagai salah satu
puncak estetika sastra Jawa. Karya sastra tersebut dikenal dengan nama Serat
Wedhatama. Terdiri dari 100 pupuh (bait) terbagi dalam 5 lagu yaitu pangkur,
sinom, pocung, gambuh dan kinanthi.
Berikut cuplikan Serat Wedhatama:
Mingkar
mingkuring angkara
Menghindarkan diri
dari angkara
Akarana karenan mardi siwi
Bila akan mendidik
putra
Sinawung resmining kidung
Dikemas dalam
keindahan syair
Sinuba sinukarta
Dihias agar tampak
indah
Mrih kretarta pakartining ngèlmu luhung
Agar tujuan ilmu
luhur ini tercapai
Kang tumrap ning tanah Jawa
Yang berlaku di tanah
Jawa
Agama ageming aji
Agama pegangan para pemimpin
Ngèlmu iku kalakoné
kanthi laku
Ilmu itu bermanfaat
bila dilaksanakan
Lekasé lawan kas
Dimulai dengan
kemauan
Tegesé kas nyantosani
Kemauan untuk
menyejahterakan sesame
Setya budya pangekesé dur angkara.
Tabah mengembangkan, menaklukkan semua tantangan.
0 Comments