Seakan telah menjadi kesepakatan umum,
bahwa dalam menjalani proses kehidupan di dunia ini memerlukan ilmu amaliah dan
amal ilmiah yang seimbang dalam rangka medekatkan diri kepada nur Ilahiah. Hal
ini selaras dengan apa yang dikatakan Al-Ghazali bahwa sebenarnya manusia
benar-benar dalam keadaan rugi kecuali mereka yang berilmu, mereka yang berilmu
benar-benar rugi kecuali mereka yang beramal dan mereka yang beramal
benar-benar rugi kecuali mereka yang ikhlas.
Keikhlasan yang akan membuat seseorang tenang, damai dan tentram dalam menjalani
kehidupan. Namun, ketika ilmu tidak membuat seseorang semakin tenang, pasti ada
yang salah. Maka, resep sederhana dalam memproses keikhlasan adalah sadar bahwa
apa yang telah terjadi adalah yang terbaik, dan apa yang belum terjadi harus
diperjuangkan hingga titik darah penghabisan.
Di
samping itu, perlu disadari bahwa orang tidak peduli seberapa banyak ilmu yang
kita miliki dan seberapa tinggi prestasi yang kita dapat. Yang orang-orang
rasakan adalah seberapa manfaat kehadiran kita di tengah-tengah mereka. Kesadaran
ini sangat dibutuhkan ketika hidup di tengah masyarakat yang multikultural,
sebagai counter dari fanatisme buta yang mengatasnamakan suku, agama atau
kelompok tertentu.
Ada tiga
istilah yang biasa digunakan untuk menyebut para pengembara ilmu pengetahuan di
Nusantara. Walaupun sama objeknya, namun istilah tersebut tidak ada padanan
katanya dalam bahasa lain. Tiga istilah tersebut adalah santri, mahasiswa dan
mahasantri.
Santri
sebutan bagi seseorang yang secara khusus mendalami agama Islam. Disebut khusus
karena mereka tinggal di suatu tempat tertentu yang biasanya jauh dari rumah.
Tempat tinggal para santri dikenal dengan pesantren yang dibimbing oleh kiai.
Di
pesantren, proses pembelajaran lebih mengedapankan akhlak. Kebersamaan dan
kesederhanaan menjadi pola pendidikan yang dibiasakan sebagai bekal hidup
ditengah masyarakat. Konsep barokah sebagai ciri khas pendidikan pesantren. Oleh
karenanya, tidak akan pernah kita temukan perdebatan antara kiai dan santri,
apalagi demonstrasi. Sistem pendidikan sepenuhnya ditentukan oleh kiai.
Slogannya, semakin lama mondok semakin barokah.
Mahasiswa
sebutan khusus bagi seseorang yang mempelajari satu bidang ilmu tertentu di
perguruan tinggi. Pola pendidikan yang dikembangkan dengan prinsip egaliter. Penelitian
dan pengabdian masyarakat sebagai muara pendidikan. Angka-angka sebagai penentu
keberhasilan pembelajaran. Semakin cepat lulus dianggap sebagai suatu
keberhasilan.
Dalam proses pendidikan, mahasiswa harus
membayar sejumlah uang setiap semester yang biasanya dengan jumlah tidak
sedikit. Perdebatan atau demonstrasi menjadi hal biasa antara mahasiswa dan
dosen. Dosen dalam hal ini sebagai pengajar sekaligus pemegang kebijakan sistem
pendidikan.
Mahasantri
sebagai sebutan bagi seseorang yang mendalami agama Islam di tempat tertentu
sambil mengikuti proses perkuliahan di perguruan tinggi. Proses pendidikannya
mengintegrasikan antara pesantren dan perguruan tinggi. Berharap barokah dengan
kemampuan riset yang diakui dunia internasional.
Penilaian
Secara
umum, penilaian dalam proses pendidikan
dibagi menjadi tiga: kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun, mengandalkan
penilaian tanpa mampu mendefinisikan diri adalah sesuatu yang sia-sia.
Seseorang akan terombang-ambing dengan kesibukan aktivitas orang lain. Maka,
yang terpenting dalam perjalanan proses pendidikan adalah mendefinisakan diri.
Menemukan keutamaan dalam diri dan menggunakannya dalam membangun pola
kebermanfaatan.
Dalam
pendidikan formal, ukuran keberhasilan peserta didik menggunakan angka-angka
atau sederhananya disebut ranking. Efek negatif dari pemberian rangking adalah
ukuran keberhasilan atau kegagalan tergantung orang lain. Peserta didik yang
mendapat rangking rendah akan merasa bodoh dan rangking teratas akan merasa
pintar.
Penilaian
seperti ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila yang mengajarkan
bagaimana hidup dalam kebersamaan. Tinggi tanpa merendahkan, menang tanpa
mengalahkan dan maju tanpa menyingkirkan. Jika penilaian yang tidak bernafaskan
Pancasila ini dibiasakan, yang terjadi adalah seseorang akan menyalahkan orang
lain untuk membenarkan diri sendiri, seseorang akan berusaha mengalahkan orang
lain untuk menganggap diri sebagai pemenang, seseorang akan merasa senang
ketika orang lain susah dan merasa susah ketika orang lain senang.
Ukuran
dari fenomena yang terjadi adalah diri sendiri, bukan orang lain. Seseorang
tidak bisa dikatakan bodoh ketika orang lain mendapatkan prestasi. Seseorang
tidak bisa dikatakan gagal ketika orang lain berhasil. Inilah nilai-nilai
pendidikan nusantara yang ramah dan berkeadaban. Menjadikan seseorang menjadi
manusia sejati. Hidup dalam kebersamaan dan keanekaragaman dengan identitas
sejati.
0 Comments