Untuk tahun yang diulang,
sejatinya adalah kesedihan yang lumrah dirayakan. Yang bertambah hanya angka,
kesempatan hidup justru berkurang. Sudahkah menjadi manusia seutuhnya? Belum,
kalau masih risau karena cacian dan jemawa karena pujian.
16 Februari dalam penanggalan
masehi, bertepatan tahun baru Imlek. Perayaan terpenting sahabat Tionghoa yang
berlangsung 15 hari. Imlek, bukan hanya sekedar pergantian tahun. Tapi
mengingatkanku tentang spirit belajar. اطلب العلم ولو بالصين
Masehi adalah penanggalan
yang dianggap dihitung sejak kelahiran Isa al-Masih, kalam Allah yang berwujud
manusia (inkarnasi). Nama bulan juga berdasarkan nama para kaisar Romawi yang
pernah memimpin kekaisaran. Tentang Romawi, awalilah bacaan di surat Ar-Rum.
Dari keduanya, yang terpenting
bagiku adalah hijriyah, mengingatkanku tentang spirit hijrah, karena setiap
langkah adalah hijrah. Seperti hijrahnya Ibrahim bersama Hagar dan Ismail,
hijrahnya Musa bersama Bani Israel dari Mesir menuju tanah yang dijanjikan,
hijrahnya Isa Al-Masih bersama Al-Hawariyyun dari kejaran tentara Romawi,
hijrahnya Ashabul Kahfi dengan anjingnya, hijrahnya Muhammad dan sahabatnya,
hijrahnya Umar bin Khattab perantara surat Thaha, hijrahnya Gajah Mada dengan
Sumpah Amukti Pallapa, hijrahnya 'Yang Utama' HOS Cokroaminoto dengan Sarekat
Islam, hijrahnya Mbah Dahlan dengan Muhammadiyah, hijrahnya Mbah Hasyim dengan
Nahdlatul Ulama', hijrahnya Soekarno-Hatta dan rakyat dengan Indonesia,
hijrahnya Cak Nun bersama Jamaah Maiyah dan hijrahnya Yan Java dengan Pustakatulistiwa.
16 Ramadhan, 23 tahun yang
lalu, telah lahir seorang bayi dari seorang rahim wanita bernama Suryani.
Belakangan, baru saya ketahui bahwa Suryani adalah sebuah bahasa Aram Timur
yang pernah dipertuturkan di tanah para Nabi. Juga merupakan bahasa liturgi
dari beberapa geraja di Siria.
Ternyata eh ternyata, banyak peristiwa
penting di bulan Ramadan. Tahun 2018, 16 Ramadan bertepatan dengan hari lahir
Pancasila. Dan di bulan ini juga
perayaan trisuci Waisak dirayakan. Sidharta Gautama dilahirkan, parinibbana (wafat)
dan memperoleh pencerahan setelah berpuasa, melakukan tapa bratha penyepian.
Menaklukkan dua kekuatan besar dalam diri manusia. Dua kekuatan besar itu
menurut Al-Ghazali disebut kekuatan anjing (agresi, kuasa, hegemoni) dan
kekuatan babi (rakus, nafsu, perut).
Ilmu titen dalam tradisi Jawa
memperhitungkan bahwa kelahiran, kematian dan pencerahan dalam hidup manusia
berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu, apapun agamanya, puasa dan
bersedekah di hari kelahiran (weton) yang berulang setiap 36 hari sekali adalah
perisai diri, jalan menuju pencerahan.
Selain dari pada itu, Imam
Ahmad bin Hanbal berkata, Abu Sa’id Maula Bani Hasyim telah bercerita kepada
kami, ‘Imran Abul ‘Awwam telah bercerita kepada kami, dari Qatadah, dari Abul
Malih, dari Watsilah yaitu al Asqa’, bahwasannya Rasulullah bersabda:
“Shuhuf
Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadhan, Taurat diturunkan pada enam
Ramadhan, Injil diturunkan pada tiga belas Ramadhan, dan Allah menurunkan al
Quran pada tujuh belas Ramadhan.” [Al Musnad VI/107]
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. ..." [al Maidah 5: 44]
Detik-detik menjelang Nuzulul
Quran, kalam Allah berwujud teks (inliberasi), kitab suci yang melengkapi kitab
sebelumnya, yang terjaga sepanjang masa. Bukan perintah syahadat, sholat,
zakat, puasa atau haji, melainkan perintah membaca. Bukan sekedar membaca teks,
tapi membaca manusia, budayanya.
Di Jawa, aneh jika
membiasakan api, lilin dan nyanyian, tapi memusuhi tumpeng, sarung, tahlil,
tongkat, tasbih dan budaya leluhur yang adiluhung. Dapat dipastikan perilaku
semacam ini tidak memahami Al-Quran dengan bahasa Arabnya, Injil dengan bahasa
Yunani, Aram dan Suryaninya, Torah dengan bahasa Ibraninya, Veda dengan bahasa
Sanskritnya, Tripitaka dengan bahasa Palinya, Konghucu dengan bahasa
Mandarinnya, dan kepercayaan dengan bahasa daerahnya.
Sudahkah kita membaca budaya
tempat dimana kita dilahirkan, negara tempat kita dibesarkan, agama tempat kita
didharmakan, dan membaca jasad tempat bersemayamnya amanah Tuhan sebagai
Khalifah di muka bumi? Tak perlu menunjukkan apa pakaian Anda, jika hidupmu
untuk terus belajar dan membaca, bolehkan ingsun menjadi muridmu?
Naluri
Kitab Suci
Kamis, 16
Ramadan 2018
0 Comments