Indonesia sebagai negara mulitikultural sangat sensitif terhadap
isu SARA. Persatuan dan kesatuan menjadi bahaya laten, bom waktu yang setiap
saat bisa meledak jika tidak waspada. Bahkan bom bunuh diri teroris yang dapat
menghancurkan tempat-tempat vital dan gedung-gedung megah bertingkat tidak lebih berbahaya
dibanding bom waktu yang bisa saja menghancurkan negara bangsa-bangsa bernama Indonesia.
Isu SARA sangat rentan ditunggangi gerakan politik kebangsaan yang tidak
menutup kemungkinan menggunakan segala cara dalam meraih kekuasaan. Beruntung
umat Islam sebagai penduduk mayoritas tidak mempermasalahkan lambang negara Indonesia
burung garuda yang dalam mitologi Hindu sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Juga semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari teks suci agama Hindu dalam kitab Sutasoma
karya Mpu Tantular.
Desember sebagai bulan suci umat Kristiani. Namun di bulan
inilah kewaspadaan terhadap bom waktu itu perlu ditingkatkan. Pemahaman
terhadap diri tentang arti pentingnya toleransi tanpa mencapuradukkan akidah
agama masing-masing patut digalakkan. Toleransi sebagai jantung persatuan dan
kesatuan NKRI selalu di pertentangkan dengan posisi umat Islam sebagai penduduk
mayoritas republik ini. Pimpinan, penjabat negara, tokoh ormas Islam sering
menjadi bulan-bulanan massa khusunya di media sosial sebagai akibat dari
sikapnya yang berusaha menjaga dua pilar, keutuhan NKRI dan kesempurnaan akidah
Islam.
Perlu perlindugan hukum terhadap pimpinan, pejabat negara dan
tokoh ormas Islam beserta keluarganya. Nama baik pribadi dan lembaga serta
keamanan keluarganya selayaknya dilindungi dari panasnya bola api media sosial.
Perlu dukungan MUI sebagai muara umat Islam di Indonesia untuk melindungi para
pimpinan, pejabat negara dan tokoh ormas Islam beserta keluarganya agar
senantiasa menjaga gerbang toleransi sebagai modal persatuan dan kesatuan umat
Islam tanpa mencampuradukkan dengan akidah Islamnya.
Pertentangan
Kata toleransi dan mayoritas sering dipertentangkan, sehingga
membuat sebagian masyarakat bimbang dalam menentukan sikap. Perihal toleransi,
pendapat semua agama benar tidak bisa dipertanggungjawabkan dan bertentangan
dengan logika. Siapa pun yang berpendapat demikian, ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama dia adalah antek asing ateis yang ingin menghancurkan dasar
negara Pancasila khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai
kapanpun Indonesia adalah negara yang religius. Mengakui adanya sebab tunggal
alam semesta ini dan segala apa yang terjadi di dalamnya, Tuhan Yang Maha Esa.
Kemungkinan kedua, dia tidak mempunyai pendirian yang kuat atau kurang memahami
akidah agamanya dan hanya mengambil untung ekonomi dalam setiap permasalahan
agama.
Jika dia seorang muslim,
maka dapat dipastikan bahwa dia bukan muslim yang taat. Jika dia Nasrani, maka
bukan umat Nasrani yang taat. Jika dia Hindu, maka bukan umat Hindu yang taat.
Jika dia Budha, maka bukan umat Budha yang taat. Dan juga jika dia Konghucu,
maka bukan umat Konghucu yang taat. Loginya, pilihan menjadi sebuah sebab, maka
pilihan itu akan berakibat salah dan benar. Sama seperti jika yang menjadi
sebab adalah kebebasan, maka akibatnya adalah berlakunya hak dan kewajiban.
Paksaan
Setiap hari raya Natal tiba, pembahasan di kalangan umat Islam
seputar hukum mengucapkan selamat natal. Selama ini, tidak ada permasalahan
terkait hal tersebut. Semua selesai dengan diskusi memperdalam akidah Islamnya
masing-masing. Suasana itu menjadi sangat indah dan harmonis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pimpinan ormas Islam yang mengucapkan selamat Natal
sepertinya juga sudah terbiasa dan memahami setiap ejekan, hujatan dan anggapan
negatif terhadap dirinya. Kehidupan akan tetap aman dan berjalan tertib selagi
tidak ada paksaan yang menjurus pada kekerasan atas setiap individu maupun
lembaga.
Namun di tahun 2016 ini, perayaan Natal di Indonesia akan
melawati babak baru. Toleransi pengusaha Nasrani kembali dipertaruhkan.
Sementara itu, kondisi umat Islam sebagai penduduk mayoritas kembali
dipertentangkan dengan sikap toleransi. Fatwa MUI nomer 56 tahun 2016 tentang
hukum menggunakan atribut non-muslim sebagai bentuk perlindungan terhadap warga
muslim yang bekerja di bawah pimpinan atau pengusaha non-muslim. Fatwa tersebut
berupa keputusan pengharaman terhadap pemakaian atribut non-muslim bagi warga
muslim yang bekerja di bawah pimpinan non-muslim. Juga pengharaman terhadap sikap
pemaksaan pimpinan atau pengusaha non-muslim kepada pegawai muslim untuk
memakai atribut non-muslim. Tentu keputusan tersebut berdasarkan referensi
dasar Al-Qur’an dan hadis serta referensi tambahan kitab-kitab klasik.
Efektivitas sebuah aturan sangat dipengaruhi siapa atau lembaga
yang mengeluarkan aturan tersebut. Mengingat dan meninjau kembali posisi MUI
sebagai lembaga non-pemerintah yang menangani perihal rohani umat Islam, segala
fatwa yang terbentuk sangat membantu pemerintah dalam pengambilan keputusan.
Fatwa tersebut sifatnya sebagai usulan kepada negara jika bersentuhan dengan
agama lain. Aturan itu bukan menjadi dasar untuk melakukan aksi-aksi yang
mengarah pada pemaksaan dan kekerasan.
Dalam pelaksanaannya, fatwa tersebut memberikan enam
rekomendasi. Pertama, umat Islam agar
tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis
kehidupan masyarakat. Kedua, umat
Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah
satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan
ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis. Ketiga, umat Islam agar memilih jenis
usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau
memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim. Keempat, Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam
menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan agamanya, dan
tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada
karyawan muslim. Kelima, pemerintah
wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk
dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta
menjaga toleransi beragama. Keenam,
pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat
peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan,
dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan
atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.
Jika dipahami dan direnungkan kembali, fatwa tersebut terkesan
dibuat secara terburu-buru dan tidak menyeluruh. Indikasinya, fatwa tersebut
dibuat dan dikeluarkan mendekati perayaan Natal. Seakan-akan meningkatkan
ketegangan menjelang hari raya Natal. Jika fatwa tersebut secara umum ingin
membenahi aturan berpakaian umat muslim, tentu harus didahului pembenahan
kesadaran umat muslim agar tidak membuka aurat di tempat umum. Bagaimana sikap
terhadap umat muslim yang tidak menutup aurat, dan perlindungan secara hukum kepada
umat muslim terhadap perusahaan-perusahaan yang memaksa untuk membuka aurat
sebagai syarat diterimanya menjadi pegawai atau karyawan. Realitasnya sangat
menyakitkan, bahwa masih banyak umat Islam yang membuka aurat di ruang publik.
Aksi sweeping atribut natal tetapi
tidak dibarengi dengan pemberlakuan standardisasi cara berpakaian umat muslim
di muka umum menunjukkan betapa tingginya sifat kemunafikan di republik ini.
Sebelum berlakunya sebuah aturan atau berlangsungnya sebuah
agenda penting, upaya sosialisasi kepada khalayak luas harus benar-benar
intensif. Pemahaman dan pengertian terhadap pelaku usaha menjadi urgen. Pembuat
fatwa juga perlu membuat nota kesepakatan, meminta pengertian dan membuat kerja
sama terkait permasalahan ini dengan majelis-majelis ulama agama lain. Ini akan
sangat membantu tercapainya tujuan, dari pada secara sepihak menginstruksikan
pegawai atau karyawan dan pengusaha atau pimpinan untuk mematuhi fatwa
tersebut. Tentu peran negara sangat diperlukan dalam komunikasi secara
intensif.
Mengingat umat Islam sebagai pegawai atau karyawan, tentunya
sangat tidak etis jika begitu saja meninggalkan kebiasaan dalam memakai atribut
hari-hari tertentu. Suasana keluarga dalam lingkungan kerja yang selama ini
harmonis seakan-akan dirusak oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung
jawab. Bagi perusahaan pemakaian atribut Natal bisa jadi bukan perihal agama
tetapi strategi untuk meningkatkan penjualan. Oleh karena itu, fatwa tersebut
sudah selayaknya ditinjau kembali.
0 Comments