Surat Kepada Pemimpin


Salam Kemerdekaan !
Di mana pun Anda bertahta,
Bagaimanpun cara memimpin Anda,

Ketika saya menggerakkan jemari untuk menuliskan surat ini kepada Anda, tanah yang saya pijak ini seakan berteriak, “Jangan menyakitiku dan kembalikan hak-hakku!” Suara itu selalu terdengar dalam kesendirianku di bilik-bilik pesantren. Namun, teriakan itu tidak terdengar di tengah-tengah dunia yang mampu menciptakan si smartphone setiap detiknya, membangun stadion bola secara singkat,  menciptakan mobil tenaga listrik, dan membawa si jenius Android dalam headline market.

Siang ini, ketika surat ini saya ketik dengan notebook yang menemani hari-hari saya dalam mencari jati diri. Saya membayangkan ketertindasan yang dialami ibu saya, ketika mimpinya untuk sekolah sirna karena keterbatasan ekonomi. Keluarga layaknya rakyat Indonesia dalam jajahan. Mengerjakan apa pun yang diperintahkan sang tuan. Ratapan dan tangisan senja selalu terdengar dari lubuk hatinya. Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani mendobrak, berani bangkit dari ketertindasan, melawan tirani sang tuan dengan merantau dan mengadu nasib di kota Pahlawan. Bukankah dia hanya bisa meratapi dan menangisi nasibnya? Usianya 16 tahun dan hidup tidak seindah seperti apa yang dibayangkan.

Saya juga terkenang dengan sahabat saya yang dua minggu lalu meninggalkan mimpi-mimpinya di dunia ini. Tepat tanggal 9 April 2014 dia menutup mata dalam waktu yang lama. Hari dimana para wakil rakyat mencari dukungan sebanyak-banyaknya agar bisa duduk di singgasana. Senyuman, keceriaan, dan semangatnya dalam menuntut ilmu tidak luntur begitu saja dari raut wajahnya yang selalu terbayang. Cita-citanya yang dulu selalu bergelora kini hanya menjadi sebuah kenangan, terukir dalam batu nisan. Usianya baru 20 tahun. Peristiwa itu membuat saya takut dalam menjalani hidup.

Aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang bisa dilakukan ketika keterbatasan menjelma sebagai batu besar dan ketakutan menjadi peluru yang terus ditembakkan kepada kita kapan pun dan dimana pun? Pikiran itu selalu muncul dalam renunganku di bilik-bilik pesantren dalam kesendirianku ketika tidak ada lagi sahabat yang menemani hari-hariku.

Ketika saya menuliskan surat ini, banyak fenomena yang terjadi. Dari lini pemerintahan, budaya korupsi yang tidak kunjung padam justru semakin membara. Dari lini pendidikan, terjadi dekadensi moral, baik dari pendidik maupun siswa didiknya. Dari sosial-budaya, beberapa daerah ingin muncul dengan benderanya sendiri dan karya kreasi seni kita semakin banyak yang dibajak.

Wahai para pemimpin tanah surga, pekerjaan rumah Anda begitu banyak. Tentu tidak mudah dalam menyelesaikannya. Namun, bukan berarti batu besar yang menghadang dan jutaan peluru yang ditembakkan bisa menghentikan Anda dalam memimpin negeri ini. Mengembalikan status negeri ini yang katanya tanah surga.

Post a Comment

0 Comments