Masih melekat dalam ingatan kita tentang suatu zaman di mana
tidak ada kebenaran umum. Apa yang dianggap benar oleh setiap orang itulah
kebenaran atau lebih dikenal dengan kebenaran subyektif. Terlepas dari
perdebatan benar-salah, kita tentu menghendaki sebuah kebenaran umum yang
menjaga hak dan kewajiban setiap orang. Kelompok yang menyebarluaskan dikenal
dengan kaum sofis. Mereka menjual ilmu pengetahuan dengan uang sehingga
musnahlah nilai-nilai yang dibawa ilmu pengetahuan tersebut. Untunglah masih
ada Pakde Socrates. Syukurlah memberikan sedekah metode dialektika, tetapi
kasihan meninggalnya karena kebenaran itu sendiri dan tragisnya masih punya
hutang seekor ayam kepada temannya. Entah Hipocrates sudah menyampaikan amanah
atau belum. Kalau belum, mungkin arwah Socrates masih berterbangan disekitar
kita dan sedih melihat apa yang terjadi.
Di zaman yang penuh barokah, indikasi munculnya kelompok ini
mulai menguat. Seorang guru yang tanpa standarisasi mendatangi rumah-rumah
untuk memberikan pelajaran dengan upah yang telah disepakati. Ditambah dengan
maraknya komersialisasi Al-Qur’an. Ini sebuah peristiwa yang tak bisa
dibiarkan. Kita tidak mungkin menunggu reinkarnasi dari Pakde Socrates.
Pendidikan dan Al-Qur’an tidak sepantasnya digadaikan dengan mata uang.
Sementara itu riuhnya kontestasi manusia terkadang membuat
setiap orang melupakan kemanusiaan dan esensi kehidupan di dunia. Banyak orang
yang mengritik orang lain karena tidak suka orang lain berada di sana dan
mengingnkan dirinyalah yang berada di sana. Pengritik ini pun kedudukannya sama
dengan yang dikritik karena dia tidak membawa tujuan yang lebih mulia.
Surabaya, 18 April 2015
0 Comments