Sadumuk
Bathuk Sanyari Bumi adalah ungkapan dalam literasi Jawa yang berarti seluas
telapak tangan di dahi dan sejengkal tanah pun akan dibela. Ungkapan ini
berhubungan erat dengan pernyataan menjelang terjadi atau diputuskannya
peperangan oleh seseorang atau sekelompok orang bila hak-hak dan kedaulatannya
diusik.
Ada yang
berbeda dari pertemuan Bangbang Wetan bulan ini. Bulan Juli dengan nuansa
Ramadhan memberikan secercah cahaya yang membuat malam ini menjadi spesial.
Hiburan musik panggung yang biasanya diisi oleh band-band dengan lagu pop
hingga rock, malam ini diisi oleh solawat banjari. Memang tidak semeriah
biasanya, tetapi cukup menyegarkan pendengar ketika kebosanan datang menyerang.
Selain itu juga penampilan koreografi dari penari yang menampilkan tarian sufi
cukup menambah kemerihan panggung. Tarian sufi berasal dari Turki yang penutup
kepala yang cukup tinggi dan bawahan rok dengan gerakannya berputar-putar di
tempat.
Menyoal
tentang tema pada malam ini menurut salah satu narasumber kurang lengkap. Lengkapnya,
Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditoi Pati, seluas telapak tangan di dahi dan
sejengkal tanah pun akan dibela hingga mati. Inilah nenek moyang yang dijadikan
slogan oleh Bonek - julukan arek-arek Surabaya – Salam satu nyali, wani...!!!
Terlepas dari stigma negatif Bonek, tanpa ini tidak mungkin Surabaya akan
dikenal sebagai kota Pahlawan.
Apa yang
terjadi belakangan ini dan kemungkinan apa yang akan terjadi cukup menjadikan
stimulus munculnya tema tersebut. Helikopter Malaysia yang melewati perbatasan,
modal asing dengan alat-alat produksi sekaligus 10.000 pekerja yang akan datang
dari Cina, dan permohonan maaf terhadap keluarga anggota PKI yang akan
dilakukan Presiden Jokowi tanggal 15 Agustus mendatang.
Kehormatan
atau harga diri memang menjadi awal sebuah cerita, asal sebuah tragedi, dan
sumber adanya peristiwa. Mulai dari skala terkecil hingga lingkup dunia,
sesuatu yang paling mahal dan harus dipertahankan adalah kehormatan dan harga
diri. Tidak menjadi masalah karena kehormatan dan harga diri merupakan karunia
Tuhan. Tetapi perbedaan pemahaman terhadap harga diri itulah yang akan
menimbulkan pergolakan.
Lantas
bagaimana sebuah kehormatan atau harga diri harus ada dan dipertahankan tanpa
mengusik orang lain? Yang harus dilakukan adalah bagaimana menjadi diri
sendiri, tidak menyamar atau memakai budaya orang lain. Menjadi penting
mempertahankan kehormatan dan harga diri serta martabat bangsa. Menjadi batasan
kesabaran untuk tersinggung, terhina dan harus marah menindak siapa saja yang
melampaui batas.
Sebagai
bangsa merdeka harus benar-benar lepas dari segala bentuk penjajahan, terbebas
dari segala bentuk pembunuhan. Kalau fir’aun membunuh semua bayi laki-laki,
sedangkan zaman sekarang adalah pembunuhan kejantanan. Sehingga diam saja
menyaksikan ketidakadilan yang terjadi. Seperti tidak ada lagi harga diri
kebangsaan.
Rencana
Presiden Jokowi untuk meminta maaf kepada keluarga PKI seperti membuka kembali
lembaran kelam sejarah bangsa Indonesia. Pembunuhan besar-besaran yang dahulu
terjadi seperti menghilangkan begitu saja perjuangan ormas Islam yang diwakili
NU dan Muhammadiyah. Pembantaian yang dilakukan PKI seakan hilang seiring modal
dan kerja sama yang diberikan oleh pihak komunis. Sebuah kehinaan yang tidak
disadari sebagai kehinaan. Kita harus tunjukkan bahwa silat lebih baik dari
pada kungfu.
15 Agustus
jangan sampai terjadi. Momentum bangkitnya kerusakan religiusitas bangsa. Mari
kita perkuat keislaman, kekritenan, kehinduan, kebudhaan, dan religiusitas lain
yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Kita halau komunisme dari bumi
pertiwi.
0 Comments