Terorisme memang bukan fenomena baru dalam sejarah manusia. Kekerasan
sudah digunakan manusia sejak awal mula dunia ada. Dari sejarah kita mengetahui
bahwa mula-mula, teror digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap negara, terhadap
raja yang lalim, penguasa yang tiran, itulah yang dilawan. Akan tetapi, dalam
perkembangannya, teror digunakan sebagai bentuk tindakan untuk menyerang pihak
lain yang dianggap tidak sealiran, tidak segolongan, atau tidak sepaham. Dan
kini, terorisme juga digunakan sebagai alat untuk perjuangan ideology,
mewujudkan cita-cita sebuah kelompok.
Dua tujuan utama
terorisme menurut Robert A. Pape dalam Dying to Win (2005) adalah untuk
mendapat dukungan dan untuk memaksa pihak lawan. Kebanyakan teroris melakukan
aksi mereka untuk kedua tujuan tersebut secara bersamaan. Tujuan tersebut
dicapai dengan cara destruktif, demonstratif dan terorisme bunuh diri.
Pertanyaan sederhananya adalah mengapa prinsip “tujuan menghalalkan cara” masih
mendominasi atau paling tidak dipegang teguh oleh sejumlah kelompok dalam
“perjuangannya”? atau mungkin lebih tepatnya, dilakukan untuk melampiaskan rasa
benci, balas dendamnya? Apakah cara-cara seperti itu akan menyelesaikan masalah
atau justru sebaliknya?
Apa pun alasannya, menghilangkan
nyawa orang lain dengan cara apa pun tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, ini
yang memprihatinkan, jalan kekerasan banyak dipilih untuk mencapai tujuan.
Kekerasan yang terungkap dalam sikap doktriner, otoriter, eksklusif dan kekerasan fisik merupakan jalan yang
paling pendek untuk memutlakkan suatu pandangan atau penafsiran. Jalan seperti
itu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali rasa permusuhan. Dan jalan itu
hanya membuktikan bahwa rasa kemanusiaan sebagai manusia itu sudah tidak ada
atau sekurang-kurangnya menipis.
Dewasa ini, masyarakat
diusik oleh pemberitaan aksi teror yang menelan banyak korban jiwa. Di Libanon,
dua pengebom bunuh diri meledakkan bom di sebuah kafe. Di Nigeria, milisi Boko
Haram menggunakan anak perempuan berusia 10 tahun sebagai senjata penyerang,
dijadikan bom bunuh diri. Pekan lalu penembakan membabi buta di kantor majalah
satire Charlie Hebdo di Paris yang
menarik perhatian dunia dan mendorong para pemimpin dunia bersatu padu turun ke
jalan melakukan aksi perlawanan terhadap aksi terorisme.
Sangat memprihatinkan
penembakan membabi buta di kantor majalah satire Charlie Hebdo. Charlie
Hebdo menjadi target penembakan brutal beberapa kali atas karikatur yang
meledek Nabi Muhammad SAW. Majalah yang juga pernah melecehkan Yesus Kristus,
Paus Benediktus, orang Yahudi, dan para pejabat negara itu telah sering
mendapat ancaman. Walau tingkah polahnya dapat sangat menyinggung sensitivitas
keimanan, aksi teror balasan tidak dapat dibenarkan dengan alasan dan
justifikasi apa pun. Aksi kekerasan itu adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan
dan peradaban. Aksi itu bisa dipastikan membuat citra Islam dan kaum Muslimin
kian tercemar karena yang menonjol dalam pemberitaan media dunia adalah bahwa
mereka Muslim.
Aksi terorisme patut
menjadi peringatan bagi seluruh aparat pemerintah dan warga Indonesia,
khususnya umat Islam Nusantara yang jauh dari ekstremisme dan radikalisme.
Menjadi pelajaran di negara maju sekalipun, dengan pengamanan sangat ketat,
tetap saja ada orang yang ingin menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.
Potensi teror juga masih cukup besar di Tanah Air, karena biasanya kelompok
teroris di Indonesia melakukan aksinya setelah terjadi serangan di satu negara
atau daerah lain. Ketika marak berita Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) yang
melakukan perekrutan di Indonesia, kelompok teroris lama yang beroperasi di
Indonesia seakan kembali menemukan momentum dengan melakukan aksi baiat,
mengadakan pengajian lengkap dengan bendera NISS sampai melukis mural simbol
NIIS.
Gejala meningkatnya
geliat kelompok teroris itu bisa disimak dari aksi Polri terhadap sejumlah
orang terduga teroris yang tersebar di seluruh Nusantara. Melihat peningkatan
aktivisme kelompok teror di Indonesia, penanganannya jelas tidak memadai dengan
hanya mengandalkan aparat keamanan.
Perlawanan terhadap teroris harus merupakan agenda semesta pemerintah
dan warga. Seluruh warga perlu meningkatkan sikap waspada terhadap orang baru
yang menunjukkan perilaku tidak lazim, seperti tidak pernah bergaul atau sering
kumpul-kumpul tertutup. Mereka patut diamati lebih dekat dan dilaporkan kepada
Polri. Saat yang sama, warga harus menghindarkan diri dari terjerumus ke aksi
main hakim sendiri.
Banyak kalangan luar
menilai Indonesia mendapat berkah sangat bernilai dari Allah. Tidak hanya
kekayaan alam dan sosial budayanya, tetapi juga dengan Islam Nusantara.
Indonesia dengan lingkungan agama dan sosial-budayanya yang hidup berdampingan
damai memberikan lebih banyak peluang dan janji mengantarkan umat Islam beserta
umat lain ke alam kemajuan. Islam Nusantara dengan teologi Asy’ariyah, fiqih
madzhab Syafi’i dan tasawuf Ghazalian bukan lahan subur bagi radikalisme anutan
kelompok Salafis, Wahabi, Neo-Khawarij dan jihadis. Aliran ini terlalu literal,
kering, dan keras bagi banyak muslim Indonesia yang senang mempraktikkan Islam
berbunga-bunga.
Meski demikian, Muslim
Indonesia pemegang teguh ortodoksi Islam Nusantara yang diwakili ormas Islam
seperti NU, Muhammadiyah dan banyak ormas semacamnya, tetap perlu diperkuat.
Mereka dengan tegas menyatakan NIIS adalah aksi terorisme, bukan jihad. Aksi
mereka mencemarkan Islam dan kaum Muslim. Penguatan itu kini kian diperlukan
ketika seorang Abu Jandal al-Tamimi al-Yamani al-Indonesia misalnya, mengancam
lewat youtube untuk menghancurkan TNI, Polri, dan Banser NU. Meski ancaman itu
absurd, tetap saja umat Islam Nusantara beserta pemerintah dan aparat keamanan
wajib meningkatkan kewaspadaan. Demi terjaganya kedamaian di bumi pertiwi.
0 Comments