KOALISI OPOSISI; Merusak Aqidah Membunuh Generasi Muda


Hasrat, harapan, keinginan, adalah kekuatan penggerak dari seluruh manusia. Setiap langkah menentukan pijakan sebagai batas pembeda. Banyak orang menjalani hidup dan mereka begitu menginginkan banyak hal. Begitulah realitas yang terjadi, keinginan membuat setiap jiwa menembus berbagai hal untuk mengejar apa yang diinginkannya. Pergulatan keinginan dan goresan kepentingan yang lahir dari setiap jiwa menorehkan peristiwa menarik dalam hidup. Namun, apakah setiap manusia mengetahui kemana arah dan langkah kakinya?

Beragam cerita beribu kisah sebagai pengantar dalam menyikapi reinkarnasi peristiwa yang terjadi, menentukan perjalanan hidup manusia. Dari berjuta narasi perjalanan hidup manusia hanya ada dua arah yang akan dilalui setiap manusia, kesulitan dan kemudahan. Banyak manusia yang menginginkan jalan terbaik dalam hidupnya. Namun, mayoritas manusia hanya hidup dalam dunia ide. Keinginannya hanya menjadi sebuah angan-angan belaka, bukan sebuah cita hakiki. Keinginan selamanya menjadi angan-angan ketika tidak ada daya upaya dalam mengaktualisasikan setiap potensi yang ada dalam diri.

Mengatasi kegalauan dan ketidakpastian tujuan hidup yang membingungkan, setiap manusia harus melangkah dengan pasti agar memperoleh kemerdekaan hidup yang hakiki. Ada dua langkah yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Langkah pertama menuju langit, yaitu perjalanan ketauhidan yang dialami oleh setiap manusia. Dan langkah kedua kembali menuju bumi, yaitu perjalanan jati diri. Percaya pada diri sendiri dan percaya bahwa Tuhan berada dalam diri serta percaya bahwa tidak ada satu pun yang mampu menghalangi kehendak Tuhan.

Namun, sampai batas mana setiap manusia mampu melakukan perjalanan tersebut? Ketika langkah pertama tidak mampu dilalui manusia, maka yang terjadi adalah krisis identitas. Who am I? Setiap manusia akan mempertanyakan jati dirinya. Ketika pertanyaan tersebut semakin luntur dan dilupakan, maka sudah dipastikan bahwa manusia tersebut semakin jauh dari sumber kehidupan. Dia tidak tahu apa, mengapa, dan untuk apa dia hidup. Sehingga karakter dan tingkah lakunya membawa kerusakan dan mengkhawatirkan. Na’udzubillah min dzaalik.

Krisis identitas itulah yang menjadikan dunia ini terus bergejolak. Berbagai peristiwa yang terjadi dilatarbelakangi dari ketidakmampuan manusia dalam melakukan langkah pertama. Itulah yang menjadi target utama pihak-pihak yang berencana menguasai dunia. Menghancurkan generasi-generasi muda dengan berbagai doktrin. Tidak heran jika banyak generasi muda ketika masuk dalam dunia kampus, berubah sikap dan tingkah lakunya. Ada juga pemuda yang merelakan dirinya untuk diledakkan.

Lantas, apakah kampus sebagai tempat yang begitu mengerikan? Tentu tidak. Kampus sebagai tempat menempa diri, mengukir prestasi, dan melukiskan kehidupan di lembar sejarah manusia. Namun ketika segala sesuatu harus dikritisi oleh pemuda dengan status mahasiswa, maka yang terjadi adalah penggulingan adat. Tidak semua hal bisa dirasionalkan atau dipertahankan seperti zaman dahulu. Setiap ruang ada tempatnya, setiap masa ada waktunya dan setiap zaman ada tokohnya. Kita harus mempertahankan budaya-budaya lama yang baik dan mengambil budaya-budaya baru yang lebih baik.

Terlepas dari semua itu, yang perlu dipahami dan dicermati dalam mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan adalah adanya dua kubu yang berkoalisi membentuk poros di luar akidah ahlussunnah wal jamaah, yaitu ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Kubu oposisi ini pengaruhnya semakin luas seiring berkembangnya teknologi di era globalisasi seperti sekarang ini. Doktrin-doktrin yang dilakukan semakin kuat dengan iming-iming material yang menjanjikan.

Kiri dan Kanan dalam Terminologi
Kedua istilah ini secara historis dapat ditelisik kemunculannya pada bidang politik. Lorens Bagus (2000) memberikan keterangan tentang terma kiri sebagai gerakan protes yang dilancarkan oleh sebagian besar mahasiswa dan kaum cendekiawan di negara-negara Barat yang menentang masyarakat dan yang mereka tentang adalah lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan politik, pandangan hidup, nilai-nilai moral dan cita-cita moral masyarakat.

Sedangkan terma kanan pada waktu dulu, dalam parlemen Perancis wakil-wakil partai konservatif menempati kursi-kursi di sebelah kanan ketua. Golongan komunis menyebarkan kesan bahwa kanan selalu berarti sikap mempertahankan yang usang atau kolot secara mati-matian dan merugikan kepentingan rakyat. Mereka mencap kanan sebagai golongan yang tidak setuju dan bersikap konservatif terhadap percaturan politik dalam negeri (Yahya Muhaimin: 1985)

Ekstrim Kiri. Berbagai golongan, aliran dan paham yang mengatas namakan Islam mulai bermunculan dewasa ini. Kubu kiri sebagai kubu liberal yang berusaha merasionalkan dogma-dogma agama sesuai dengan akal pikiran manusia. Berawal dari pemberontakan Eropa dan beralih ke Amerika. Kubu ini lahir sejak zaman renaisans, yaitu suatu zaman pemberontakan pemikiran yang sering berlawanan dengan ajaran agama.

Golongan ini secara umum mempunyai karakteristik pemahaman yang kontekstual, bahkan tidak jarang mengunakan pendekatan hermeneutika yang selama ini berkembang untuk tafsir bible. Mereka menganggap bahwa Islam merupakan konstruksi historis, bahkan dalam pandangan ekstrim mereka Al-Qur’an merupakan produk budaya. Sikap mereka pluralis terhadap ajaran-ajaran agama baik secara transcendental maupun secara sosial.

Ekstrim Kanan. Kubu ini menyerang akidah ahlussunnah wal jama’ah dengan keradikalannya. Pola pemikirannya tradisional dan skriptualis. Mereka mempunyai pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa Islam satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai krisis di negeri ini. Perjuangan untuk menegakkan syari’at tak kenal lelah sehingga terjadi penolakan dan kebencian terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Resistensi terhadap kelompok yang berbeda pemahaman dan keyakinan sangatlah tinggi.

Kelompok ini menginginkan keidealan Islam sesuai dengan zaman awal munculnya Islam. Budaya-budaya baru yang datang masa kini dianggap sebagai perusak dan bukan bagian dari Islam. Teks Al-Qur’an secara kaku sebagai rujukan utama. Tidak ada penafsiran fleksibel terhadap realita masa kini yang terjadi, sehingga apapun yang tidak ada nas Al-Qur’an secara tekstual wajib dimusnahkah. Tidak heran jika pemikiran seperti ini membuat resah umat muslim, kedatangannya dari dalam dan penyebarannya bias. Dibutuhkan kejelian dan benteng diri yang sangat kuat untuk menetralisir pemikiran-pemikiran tersebut.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi semua itu maka yang harus dilakukan oleh setiap manusia khususnya pemuda adalah berpegang teguh pada akidah, sebuah nalar dialektis. Akidah ahlussunnah wal jama’ah sebagai jalan yang lurus yang mengantarkan setiap jiwa menuju sumber jiwa.

Post a Comment

0 Comments