Semua orang di seluruh
pelosok Nusantara ketika mendengar istilah Bonek, maka yang muncul dalam
pikiran mereka adalah kejahatan, kekerasan, keributan, anarki dan kerusakan. Mindset tersebut menjadi label Bonek
karena ulah dan perilaku mereka ketika beraksi, baik di dalam maupun di luar
stadion. Di dalam stadion, Bonek beraksi dengan mengejek kelompok pemuda lain,
melempari pemain yang sedang bertanding, menyalakan kembang api, dan tak segan
membuat kerusuhan ketika tim yang dibelanya kalah. Sedangkan di luar stadion,
Bonek beraksi dengan menjarah dagangan kaki lima, melempari penduduk dengan
batu dan merusak fasilitas umum.
Kelompok pemuda ini seakan tak pernah berhenti membuat
sensasi. Perseteruan dengan kelompok pemuda lain dan siapa saja yang mereka
temui senantiasa menghiasi layar kaca. Media masa pun tak henti-hentinya
memberitakan ulah mereka di beberapa tempat. Padahal, Bonek mempunyai sejarah
panjang dalam pembentukan karakter. Esensi Bonek selayaknya menjadi panutan,
suri tauladan dan contoh bagi seluruh penduduk Indonesia khususnya para pemuda,
baik secara individu maupun kelompok.
Semangat pantang menyerah, loyalitas dan kebersamaan
sebagai sikap yang patut diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Kreativitas
dalam menciptakan lagu-lagu, slogan dan aksi koreografi menjadi sisi positif
yang selayaknya dikembangkan. Tentu diimbangi dengan sikap yang membuat orang-orang
disekitarnya merasa nyaman, baik di dalam maupun di luar stadion. Sehingga,
stadion bisa menjadi ruang publik dalam memperoleh hiburan bagi segala usia.
Para pedagang pun bisa berjualan dengan tenang tanpa khawatir dengan aksi
penjarahan.
Esensi
Bonek
Istilah Bonek merupakan akronim dari dua kata yaitu bondho (modal) dan nekat (berani). Istilah ini semakin sempit seiring perkembangan
zaman. Sekarang istilah Bonek disematkan kepada kelompok pemuda pendukung tim
yang bermarkas di kota Surabaya: Persebaya. Bonek merupakan suporter pertama di
Indonesia yang mentradisikan away
supporter, mengiringi tim pujaannya bertanding ke kota lain. Mereka nekat mengiringi tim kesayangannya
walupun tidak mempunyai modal yang cukup. Dalam perkembangannya, aksi
perkelahian dengan suporter tuan rumah dan insiden dengan penduduk setempat
selalu mewarnai perjalanan mereka. Karakter keras yang terbangun lebih pada
sikap pantang menyerah, ngeyel dan keteguhan mempertahankan pendapat serta prinsip
sebagai wujud penghargaan tertinggi terhadap harga diri. Slogan mereka adalah
“Diam Menakutkan, Bergerak Mematikan. Salam Satu Nyali, Wani...!!!”
Stigma negatif Bonek
terhadap aksi kerusuhan oleh segelintir pemuda seyogyanya dihilangkan. Memaknai
Bonek tidak hanya sebatas kelompok suporter, tetapi lebih kepada karakter atau
idealisme dalam mengawal NKRI. Slogan perjuangan “Diam Menakutkan, Bergerak
Mematikan. Salam Satu Nyali, Wani...!!!” juga dijunjung setinggi-tingginya untuk
mempertahankan kedaulatan NKRI dalam segala aspek kehidupan, tidak sebatas
sepak bola. Keberanian dan kejahatan berbeda tipis sebagai konsekuensi slogan
tersebut. Pemaknaan slogan yang selama ini ditampilkan adalah kejahatan, bukan
keberanian. Keberanian sebagai sikap yang harus muncul ketika hak-hak diri
direnggut atau ada serangan dari luar yang dikhawatirkan melampaui batas.
Slogan “Diam Menakutkan,
Bergerak Mematikan. Salam Satu Nyali, Wani...!!!” merupakan interpretasi dari
istilah Jawa, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi. Istilah ini merupakan ungkapan dalam
literasi Jawa yang berarti seluas telapak tangan di dahi dan sejengkal tanah
pun akan dibela hingga mati. Ungkapan ini berhubungan erat dengan pernyataan
menjelang terjadi atau diputuskannya peperangan oleh seseorang atau sekelompok
orang bila hak-hak dan kedaulatannya diusik.
Kehormatan
Diri
Kehormatan atau harga
diri memang menjadi awal sebuah cerita, asal sebuah tragedi, dan sumber adanya
peristiwa. Mulai dari skala terkecil hingga lingkup dunia, sesuatu yang paling
mahal dan harus dipertahankan adalah kehormatan dan harga diri. Tidak menjadi
masalah karena kehormatan dan harga diri merupakan karunia Tuhan, tetapi
perbedaan pemahaman terhadap harga diri itulah yang akan menimbulkan
pergolakan. Lantas bagaimana sebuah kehormatan atau harga diri harus ada dan
dipertahankan tanpa mengusik orang lain? Yang harus dilakukan adalah bagaimana
menjadi diri sendiri, tidak menyamar atau memakai budaya orang lain. Menjadi
penting mempertahankan kehormatan dan harga diri serta martabat bangsa. Menjadi
batasan kesabaran untuk tersinggung, terhina dan harus marah menindak siapa
saja yang melampaui batas. Sebagai bangsa merdeka harus benar-benar lepas dari
segala bentuk penjajahan, terbebas dari segala bentuk penindasan.
Untuk menjadi diri
sendiri, hal pertama yang harus dilakukan adalah revolusi mental Indown. Mental
Indown merupakan mental yang
menganggap segala sesuatu yang berasal dari dalam tidak lebih baik dibanding
yang berasal dari luar. Tidak merasa bangga dengan budaya sendiri, melainkan
merasa bangga dengan budaya yang datang dari luar. Oleh karena itu, perlu
kiranya menjaga kelestarian budaya daerah sebagai warisan luhur. Bangga dan
melestarikan budaya, bahasa, tradisi dan adat kedaerahan untuk membentuk
kesatuan Nasional.
Kebiasaan yang harus
diganti adalah dengan merubah kebiasaan menunggu menjadi menjemput, konsumtif
menjadi produktif, membeli menjadi menjual, impor menjadi ekspor dan yang
paling utama adalah merubah kebiasaan meminta menjadi memberi. Ketika kita
masih merasa senang dengan pemberian orang lain tanpa ada niat membalasnya, berarti
masih ada mental indown yang bersemayam. Revolusi mental indown perlu dididik
sejak dini agar tumbuh kejujuran dan menghapus budaya korupsi yang ada di
negeri ini. Tentu peran pemuda sangat penting dalam mengawal kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kita adalah
pemuda Indonesia, mari bersatu dan menghilangkan anarkisme tanpa melepas
identitas sebagai Bonek, Aremania, Bobotoh, JAK mania dan LA mania.
16 April 2018
0 Comments