ABU HAMID AL-GHAZALI
Pohon yang Penuh Berkah di
Belantara Pemikiran Islam
Di tengah badai ketidakpastian
dan guncangan kehidupan di dunia ini, kembali kepada hal yang paling primordial
atau fitrah adalah penting bagi seorang Muslim. Sikap keberagamaan yang selama
ini dibungkus oleh ritus-ritus ibadah yang kering tanpa ruh menjadi tak ada
artinya. Yang ada hanyalah ritualisme kosong yang bisa menjebak pelakunya dalam
simbolisme semata. Sebaliknya, spiritualisme murni dengan mengesampingkan aspek
syariat yang lebih luas juga hanya akan menjadi wujud lain dari ketidakberdayaan
menghadapi realitas. Maka, pemahaman Islam yang mendalam sebagai pondasi
seseorang dalam menjalani hidup di dunia sangat penting diberikan sejak dini.
Bahkan sebelum seorang anak terlahir di muka bumi.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang
pemintal bulu domba kemudian menjualnya ke toko. Ia tidak makan kecuali dari
usahanya sendiri. Ia seorang salih, sering menemui para ulama dan berkumpul
bersama mereka, berkhidmah dan memberikan infaq kepada mereka semampunya.
Apabila ia mendengar ucapan mereka, ia menangis dan menunduk. Ia memohon kepada
Allah agar diberi anak salih dan menjadi seorang alim. Allah pun
mengabulkannya. Tidak ada yang sia-sia di muka bumi, yang ada hanyalah
manusia-manusia putus asa yang enggan untuk berusaha. Doa adalah ruh,
sedangkan usaha adalah bentuk fisiknya.
Ketika ajal akan menjemputnya, ia
berpesan kepada karibnya, “Saya menyesal tidak pernah belajar menulis. Oleh
karena itu, saya ingin sekali memperoleh apa yang telah saya tinggalkan itu
pada kedua anak saya. Jadi, ajarilah mereka menulis.” Kegelisahan tersebut
terjawab beberapa tahun kemudian. Al-Ghazali menulis puluhan buku dalam bidang
ushul fiqh, tashawwuf, teologi dan filasafat. Karya-karya Al-Ghazali cocok bagi
semua orang. Beliau tidak menulis untuk kalangan tertentu, melainkan untuk
seluruh kaum Muslim. Hasil tidak akan pernah menghianati proses. Kalau pun kita
tidak merasakan hasil atas apa yang kita usahakan, maka hasil itu akan
memperkuat kehidupan anak turun kita di kemudian hari. Tebarkan kebajikan
sekarang juga. Jangan pernah meninggalkan keturunan yang lemah.
Jika kau bukan anak seorang raja,
juga bukan anak seorang ulama, maka menulislah! Al-Ghazali adalah cendekiawan yang menulis tidak untuk sekadar
memenuhi lembaran buku dengan ungkapan yang indah, atau untuk melenakan
pembacanya, apalagi hanya untuk mengejar jabatan dan popularitas. Al-Ghazali
menulis sebagai ilmuwan yang jujur, yang mengaji setiap masalah dan pemikiran
yang diajukan kepadanya secara komprehensif, dan begitu kajiannya membawa
kepada satu keputusan, maka beliau pun mengimani dan membelanya dengan segala
kemampuan yang beliau miliki. Beliau memiliki metode menulis yang sangat indah
dengan imajinasi yang kaya. Menggambarkan kebaikan dan keburukan sesuatu dengan
bahasa sastra yang sangat tinggi, menggerakkan pikiran dan menyenangkan hati.
Di belantara pemikiran Islam,
Al-Ghazali adalah pohon yang penuh berkah yang dahannya rimbun, rantingnya
lebat dan bayangannya dapat menaungi manusia berabad-abad lamanya, bahkan
setelah kematian jasadnya. Semua orang takjub akan keindahan tutur katanya,
kesempurnaan keutamaannya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya dan
keakuratan isyaratnya. Beliau mengaji ilmu dan menyebarkannya melalui
pengajaran, pemberian fatwa dan menulis buku. Ucapannya didengar di mana-mana,
namanya terkenal. Beliau menjadi teladan dan didatangi banyak orang, namun
beliau mengabaikan semua itu.
Al-Ghazali selalu merasa takut
akan munculnya sikap bangga diri dalam dirinya. Maka, ketika namanya mulai
terkenal di suatu daerah, beliau segera berpindah ke tempat lain. Begitu
seterusnya sampai akhirnya beliau kembali pulang, mendirikan madrasah untuk
para fuqaha’ dan kamar-kamar untuk para sufi. Beliau membagi waktunya untuk
mengkhatamkan Al-Qur’an, berdiskusi dengan ulama’ lain, mengaji ilmu, sambil
terus melaksanakan salat puasa, dan ibadah lainnya hingga kembali ke
rahmatullah.
Falsafah Jawa mengatakan, ngluru
ilmu kanthi lelaku, mencari ilmu dengan perjalanan. Betapa filosofi
tersebut telah digunakan Al-Ghazali untuk mematikan rasa bangga diri. Terkadang
kita merasa bangga dengan prestasi, jabatan, atau bahkan kebermanfaatan diri
kepada sesama. Tetapi takut akan bangga diri bukan menjadi alasan untuk tidak
berprestasi dan menghindar untuk menyusun pola kebermanfaatan kepada sesama. Semua
itu hanya sia-sia. Bangga diri membuat seorang lupa akan dirinya. Orang yang
tak tahu dirinya, tidak akan tahu Tuhannya.
0 Comments