A. Konsep
Advokasi
Banyak orang
masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum
(litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang
berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian
melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi.
Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang
berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan
selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi
menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu
dalam bahasa Belanda, yakni advocaat
yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun
kalau kita mau mengacu pada kata advocate
dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan
menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh
Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang)
yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate
dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan,
memajukan (to promote), menyokong
atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan
‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.
Menurut
Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir
untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik
secara bertahap-maju (incremental). Julie
Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses
atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil
akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila
Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan
perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan,
mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan
membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi
penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang
lingkup dan tujuan.
Mengingat
advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka
advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan
memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan
merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong
terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik.
Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan
sosial.
Penegasan ini
penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada
kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau
organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan
sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah.
Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan
pendekatan sedekah (charity) belaka
dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang
menyebabkan masyarakat menjadi miskin.
Membantu orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang
tidak salah, bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak
dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan
tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan
masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya
masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.
B. Mengapa
Kebijakan?
Sesungguhnya
masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dampak dari
hubungan dan tarik-menarik kepentingan antara tiga aktor/pelaku governance, yakni negara, swasta
dan masyarakat. Ketika hubungan itu berjalan tidak seimbang, biasanya terjadi
karena ada persekongkolan antara negara dan swasta, maka dapat dipastikan akan
lahir kebijakan-kebijakan korup yang sangat merugikan masyarakat. Ruang lingkup
kebijakan publik itu sendiri meliputi peraturan (rules), regulasi, standarisasi, Undang-Undang,
pernyataan dan Instruksi (Decree)
yang memiliki fungsi sebagai norma umum, standar etika maupun
sanksi.
Kebijakan
yang mengantarkan pada terciptanya situasi ketidakadilan, kerusakan dan
kemiskinan tidak hanya berdimensi nasional, namun juga menjadi masalah di
tingkat lokal. Misalnya saja kebijakan penyusunan APBD yang telah disahkan
dalam Perda di beberapa daerah banyak diprotes warga. Hal ini terjadi karena
beberapa hal. Pertama, dari
sisi perimbangan, dana yang dialokasikan untuk belanja rutin jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan belanja publik. Kedua, kebutuhan
akan belanja publik seringkali tidak ada kaitannya langsung dengan kebutuhan
real masyarakat sehingga rawan dikorupsi. Kasus korupsi dalam pengadaan
barang/jasa pemerintah, terutama yang menyangkut pembelian kapal, pesawat,
helikopter yang saat ini sedang ramai diperbincangkan merupakan salah satu
contoh kecil betapa alokasi anggaran untuk belanja publik seringkali tidak
mengacu pada kebutuhan konkret masyarakat. Ketiga, anggaran
untuk menopang operasional eksekutif dan legislatif kerap kali tidak masuk akal
karena alokasinya sangat besar.
Akar masalah yang menjadi
penyebab kerugian bagi masyarakat luas adalah karena adanya kebijakan. Dengan
demikian, advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan ketidakadilan struktural
dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu kebijakan, undang-undang atau
peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi juga mempersoalkan hal-hal yang
berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya
bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu kebijakan resmi.
Oleh karena
itu, tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana
mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana
merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan
yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan
pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Walaupun dalam proses
pembuatan kebijakan publik terdapat wakil rakyat, tapi hal itu tidak akan
pernah menjamin bahwa kepentingan rakyat akan menjadi prioritas. Hal ini karena
aktor perumus dan pembuat kebijakan memiliki logika kekuasaan dan kepentingan
sendiri untuk beroperasi. Apalagi jika ruang publik dalam kehidupan politik tidak
mendapatkan jaminan dalam sistem dan konstitusi.
Agar
kebijakan publik tidak menjadi alat yang justru meminggirkan kepentingan
publik, karena digunakan sebagai alat kekuasaan sebuah bangsa untuk
melakukan/melegitimasi perbuatan-perbuatan korup dan manipulatif bagi
kepentingan segelintir orang, kebijakan publik harus selalu bersinggungan
dengan konsep demokrasi. Artinya kebijakan publik tidak sekedar disusun atau
dirancang oleh para pakar dan elit penguasa yang mengatasnamakan kepentingan
masyarakat banyak, melainkan harus menoleh pada opini publik yang beredar.
Demokratis atau tidaknya perumusan kebijakan publik yang telah dilakukan akan
sangat tergantung dari luas atau tidaknya ruang publik sendiri. Oleh karenanya,
perluasan ruang publik dengan melakukan reformasi konstitusional yang
mengarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses
politik yang ada pada sebuah negara harus dilakukan.
C. Kaidah-kaidah advokasi
Sebagai
kegiatan yang terencana dan sistematis, maka ada beberapa kaidah yang menjadi
pegangan bagi tiap orang yang melakukan advokasi. Kaidah-kaidah tersebut adalah;
1.
Mencermati posisi kasus;
digunakan untuk memetakan persoalan yang berisikan identifikasi masalah,
potensi dan peluang serta jangka waktu yang dikerjakan.
2. Identifikasi
siapa kawan dan siapa lawan; dilakukan untuk memperkecil lawan dan memperbanyak
kawan, melalui identifikasi siapa saja yang mendukung dan siapa saja yang
menentang.
3. Kerjakan rencana
yang sudah dibuat; agar tidak secara tibga-tiba mengubah sasarab dan target
yang sudah disepakati dan disusun.
4. Tetap
konsisten pada masalah
5. Jangan mudah
ditakuti atau diintimidasi
6. Berimajinasilah
7. Berdoalah
D. Cara
Melakukan Advokasi
1. Advokasi
untuk menuntut perubahan kebijakan dapat dilakukan dengan cara yang yang biasa
dinamakan dengan langkah legislasi. Misalnya, counter draf (pengajuan
konsep-konsep tanding), judicial review (hak uji materiil) atau
langkah-langkah ligitasi dengan menguji di pengadilan lewat satu kasus.
2. Penggunaan
lobi, strategi negosiasi, mediasi dan kolaborasi. Hal ini memerlukan jaringan
yang kuat dan luas. Paling tidak ada 3 kekuatan yang menjadi basis dukungan, pertama,
kerja pendukung yang menyediakan dukungan dana, logistik informasi dan akses, kedua,
kerja basis menjadi dapur gerakan dalam membangun basis masa, lewat pendidikan
kader atau membentuk lingkar inti dan melakukan mobilisasi aksi, dan ketiga,
kerja garis depan yang menjalankan fungsi sebagai juru bicara, perunding,
pelobi, dan terlibat dalam upaya penggalangan dukungan.
3. Melakukan
kampanye, siaran pers, unjuk rasa, mogok, boikot, peroganisasian basis dan
pendidikan politik. Melalui
pemanfaatan jaringan yang ada, pertama, lingkaran inti yaitu mereka yang
tergolong sebagai penggagas, pemrakarsa pendiri, penggerak utama sekaligus
pengendali arah kebijakan, tema atau isu dari sasaran advokasi. Biasanya
kelompok inti adalah mereka yang mempunyai kesamaan ideologi. Kedua,
adalah jaringan sekutu, yang melakukan kerja-kerja aksis, biasanya terdiri dari
mereka yang mempunyai kesamaan kepentingan.
Pada intinya
advokasi biasanya diselenggarakan melalui dua bentuk. Pertama, jalur non
ligitasi (tanpa melalui pengadilan atau yang lebih dikenal dengan penyelesaian
sengketa alternatif, dan kedua, jalur ligitas yakni melalui proses
pengadilan. Jalur-jalur tersebut biasanya dilakukan dengan melihat efektifitas
sebuah gerakan advokasi.
0 Comments