Adalah sebuah kenyataan
setiap orang cenderung butuh
sesuatu
yang bersifat absolut
Jelasnya, itu sudah hal yang
pasti
entah itu berupa logos atau
mitos
sebagai obor sandaran kehidupan
Oleh sebab itu maka apa yang
akan terjadi
Jika apa yang selama ini
dipercaya
tidak dapat dipercaya lagi?
(Anonim)
Semerbak
embun pagi menyelinap dalam relung-relung jiwa. Mentari bersinar dengan
gagahnya di bumi Nusantara. Tak ada lagi meriam, tak terdengar lagi bisingnya
suara tembakan, tak perlu lagi bersusah payah bergerilya. Proklamasi yang
dikumandangkan tujuh puluh tahun silam oleh Putra Sang Fajar, menjadi awal mula
kehidupan baru, menjadi tonggak perubahan tata sosial kemasyarakatan. Mentari
telah terbit. Dinginnya malam berganti dengan kehangatan cahaya sang surya.
Tetesan merah darah berganti dengan segarnya putih air susu. Tanaman tumbuh
subur sepanjang untaian Zamrud Khatulistiwa. Perbedaan menjadi identitas dalam
kesatuan. Indonesia tanah airku.
Tujuh puluh
tahun merupakan kategori usia yang memasuki fase renta dan tidak produktif lagi
untuk ukuran manusia. Namun kita cukup bisa berbangga karena di usia yang tidak
muda lagi kita bisa menyaksikan putra bangsa mampu menciptakan karya yang
menandakan babak baru dunia animasi Indonesia. Battle of Surabaya, sebuah
film yang berkisah tentang perjuangan arek-arek Surabaya berjuang bersama Bung
Tomo dengan semangat jiwa nasionalisme dan perjuangan sampai tetes darah
terakhir. Sadumuk bathuk sanyari bumi ditoi pati, seluas telapak tangan
di dahi dan sejengkal tanah pun akan dibela hingga mati. Sudah saatnya
orang-orang Selatan (tanah jajahan) mengambil kembali haknya yang dulu
dirampas.
Dalam
sejarah kehidupan manusia, teknologi menjadi landasan atau tolak ukur kemajuan
peradaban suatu bangsa. Hal ini dapat kita buktikan dengan perkembangan dan
kemajuan suatu bangsa yang tidak lepas dari signifikansi teknologi. Namun, saat
ini teknologi malah menjadi salah satu pemicu timbulnya berbagai persoalan
bangsa. Dari sekian banyak pengaruh teknologi yang muncul, ternyata yang paling
dominan adalah munculnya gaya hidup yang menitikberatkan pada kebiasaan yang
tidak berlandaskan pada moral dan agama. Seakan terjadi perselingkuhan antara
teknologi dan agama. Kecenderungan inilah yang menjadi landasan absolutisme
sains, membatik reneissans teknologi dalam bingkai romantisme agama.
Substansi
teknologi merupakan landasan dalam membangun kemajuan sebuah bangsa. Namun, apa
yang terjadi sekarang ini? Teknologi memang mendekatkan yang jauh, tetapi juga
menjauhkan yang dekat. Bahkan sering kita menyaksikan banyak orang menjadi gila
dengan berbicara sendiri di jalanan yang tidak sedikit menyebabkan kecelakaan.
Muncul juga orang-orang yang nampaknya sibuk, tetapi apa yang dilakukannya telah
menghilangkan keramahan nilai-nilai kultur bangsa yang pancasilais. Apakah
teknologi itu patut dijadikan landasan fundamental dalam membangun kemajuan
peradaban bangsa? Yang menjadi kekhawatiran adalah teknologi seolah-olah
menjebak bangsa dalam badai kehancuran agama dan ketidakpastian moral.
Teknologi
yang merupakan landasan kemajuan ilmu pengetahuan ternyata tidak selamanya
mampu memberikan inovasi terhadap bangsa. Teknologi pada gilirannya telah
mengontaminasi identitas bangsa yang paling urgen dan signifikan, mulai dari
sikap, integritas masyarakat dan masa depan bangsa. Konsepsi teknologi saat
sekarang telah menciptakan sebuah absolutisme sains yang berkembang di kalangan
masyarakat.
Keabsolutan
sains memberikan pengaruh besar dalam kehidupan religius masyarakat Indonesia.
Namun pada hakikatnya tujuan sains jelas, tidak kurang dari interpretasi yang
lengkap tentang alam semesta. Sains menuntut lebih banyak dari pada sekedar
membiarkannya tanpa diganggu gugat pada apa yang para teolog dan pakar
metafisik sebut sebagai “bidangnya yang sah”. Sains mengklaim bahwa semua
fenomena baik yang bersifat mental maupun yang bersifat fisik sebagai
bidangnya. Sains menegaskan bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya gerbang
menuju ke bidang pengetahuan secara keseluruhan.
Sementara itu, masyarakat Indonesia yang
katanya beragama tetapi realitanya jauh dari nilai-nilai agama yang luhur.
Banyak kekerasan dan kriminalitas yang telah terjadi, dan itu mengatasnamakan
agama. Apa pun agamanya, dalam hal kemanusiaan tidak ada bedanya satu sama
lain. Kehadiran agama pada hakikatnya untuk memberikan kebaikan pada sesama. Pertanyaannya,
seberapa besar agama memberi dampak pada masyarakat Indonesia? Sekalipun bukan
negara dengan asas agama, tetapi bisa dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia
beragama.
Saat ini
adalah momen yang tepat bagi kita untuk belajar dari fenomena yang telah
terjadi di mana nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan harusnya lebih berdampak
dari pada negara-negara yang mengagungkan sains namun meremehkan persoalan
agama. Ibarat manusia, agama adalah ruh dengan segala potensialitasnya,
sedangkan sains adalah raga dengan berbagai aktualitasnya. Sains dan agama
menginternalisasi dalam diri membentuk manusia-manusia paripurna. Mencetak
insinyur-insinyur muslim yang membawa Indonesia menjadi negara yang berkemajuan
dengan mempertahankan nilai-nilai keislaman.
Mempertahankan misteri-misteri
jagat raya
hanya akan menghasilkan
orang-orang
beragama yang malas mencari,
malas meneliti,
dan malas berpikir, atau malah
takut berpikir
dan takut mengetahui hal-hal
baru.
(Jagatism)
0 Comments