Ketika
mendengar nama Surabaya, maka di benak kita akan terbayang sejarah perjuangan heroik
arek-arek Surabaya melawan penjajah yang berusaha kembali ke Indonesia melalui
Surabaya. Namun, ini bukan kisah tentang perjuangan mengusir penjajah di kota
Pahlawan, melainkan kisah persahabatan seratus orang pemuda dengan latar
belakang yang berbeda-beda. Berinteraksi, saling mengenal, menumbuhkan cinta,
memutus simpul-simpul purbasangka. Menjaga persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara.
Bertepatan dengan
Surabaya menjadi tuan rumah Internasional agenda Prepcom
III Habitat, perjalanan persahabatan bertajuk Kemah Pemuda Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya
digelar. Agenda ini semata-mata untuk menciptakan suasana kondusif dalam berpancasila dan pencegahan secara preventif aksi terorisme.
Perjalanan
persahabat tersebut dimulai dari hostel museum kesehatan Republik Indonesia,
sebagai tempat kami menginap. Setiap kamar berisi empat orang dengan latar
belakang yang berbeda-beda dan belum mengenal satu sama lain sebelumnya.
Diskusi ringan terkait kebangsaan dalam perspektif agama masing-masing menjadi
suguhan menarik malam ini.
Keesokan harinya, perjalanan
persahabatan dimulai. Perjalanan menuju rumah
ibadah tiap-tiap agama menggunakan dua bus yang telah disediakan
panitia. Tujuan pertama adalah rumah ibadah agama Hindu, Pura Agung Jagat
Kirana. Ketika memasuki kompleks Pura, kesan yang muncul cukup menakjubkan,
bagi umat non-Hindu yang tidak pernah ke Pura tentunya. Kesan spiritualnya
cukup kuat.
Sebelum
memasuki ruang utama, kami berkumpul di ruangan besar yang biasa digunakan
untuk menyambut tamu. Penjaga Pura menjelaskan beberapa aturan yang harus
ditaati, batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh pengunjung, khususnya
bagi perempuan yang sedang menstruasi. Sementara itu beberapa teman yang
beragama Hindu memisahkan diri dari rombongan, menuju sebuah tempat yang
menyediakan ikat pinggang kuning dan beberapa perlengkapan lainnya. Saya
menyaksikan dari kejauhan aktivitas mereka.
Mereka
memasuki lokasi sembahyang dengan berkomat-kamit entah apa yang mereka baca.
Langkah mereka bertepatan dengan selesainya penjelasan dari penjaga Pura, yang
kemudian beranjak memasuki lokasi persembahyangan yang biasa digunakan umat
Hindu. Memasuki lokasi persembahyangan berasa seperti di Bali. Banyak pohon
kamboja dengan bangunan besar utama tinggi menjulang berbentuk gabungan
hewan-hewan. Patung-patung bersarung bertebaran di mana-mana, mulai dari pintu
masuk hingga lokasi utama ini.
Dari Pura Jagat Kirana, kami bergerak
menuju Masjid Al-Akbar. Sebuah tempat yang tidak asing lagi bagi saya dan
teman-teman Muslim lainnya. Bangunan megah rumah ibadah umat Islam ini
tergolong masjid baru, diresmikan era Presiden Abdurrahman Wahid. Bangunan
berlantai dua ini, selain sebagai pusat peribadatan umat Islam juga sebagai
pusat pendidikan Islam. Kita juga bisa menikmati suasana kota Surabaya dari
atas menara dengan hanya membayar Rp. 10.000,- untuk mencapai puncak. Sebelum
meninggalkan kompleks masjid, peserta Muslim melakukan ibadah shalat dhuhur dan
yang lain menikmati hidangan makanan yang telah disediakan panitia.
Dari kompleks Masjid Al-Akbar, kami
berpindah menuju Keuskupan Katholik. Jarak masjid menuju keuskupan relative
dekat, membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Memasuki kompleks keuskupan, kami
disambut oleh pihak gereja. Kami berkeliling menyaksikan rumah ibadah umat
Katholik ini dengan penjelasan seorang Rama. Di kanan-kiri banyak dipajang
symbol-simbol Katholik, salib, patung Yesus dan patung bunda Maria. Lukisan-lukisan
juga berjajar rapi dengan hiasan dinding yang cukup megah. Salib besar
bercahaya menjadi pusat dari symbol-simbol lainnya. Di ujung perjalanan di
keuskupan, terpampang foto rama dari masa ke masa dan program kerja keuskupan. Dari
kompleks gereja Katholik, kami menuju Gereja Protestan Sudirman. Sama-sama
gereja, bedanya gereja Protestan lebih sederhana dari pada gereja Katholik.
Lebih sedikit symbol-simbol agama. Hanya salib besar di tengah ruangan ini.
Kemudian kami menuju rumah ibadah umat
Konghucu, Klenteng Bon Bio. Umat Konghucu memperoleh angin segar setelah
Presiden Abdurrahman Wahid mengakui keberadaan agama ini di Indonesia. Tidak
heran jika foto Gus Dur terpampang cukup besar di Klenteng. Aroma dupa menjadi
ciri khas rumah ibadah umat Konghucu ini dengan mayoritas warna merah
bertuliskan huruf mandarin berwarna kuning. Ternyata merah menurut kepercayaan
umat Konghucu akan membawa keberuntungan. Simbol-simbol di rumah ibadah umat
Konghucu tergolong paling banyak jika dibandingkan rumah ibadah sebelumnya.
Dari Klenteng Bon Bio, kami bergerak
menuju Sanggar Agung, rumah ibadah umat Buddha. Sanggar Agung terletak di
kompleks wisata pantai Kenjeran baru. Namun, setelah mendengar penjelasan dari perwakilan
agama Buddha, ternyata Sanggar Agung merupakan rumah ibadah bagi tiga agama,
Buddha, Konghucu dan Tao. Banyak lilin dan patung-patung. Yang paling megah
adalah patung naga kembar dan bola api yang terletak di bibir pantai. Selain
itu juga terdapat lonceng yang cukup besar di seberang Sanggar Agung.
Manusia
adalah makhluk terbatas. Simbol-simbol yang ada dalam setiap agama adalah wujud
ekspresi keterbatasan manusia dalam memahami penciptanya yang tak terbatas,
0 Comments