Jawa, bukan hanya
tentang sebuah pulau keramat yang mengutuk siapa saja yang berbuat kerusakan di
atasnya. Melainkan juga tentang keindahan alam, ketinggian nilai, keluhuran
moral, kehalusan bahasa dan keramahan budaya. Sehingga tak sedikit orang asing
yang berlomba-lomba tinggal di pulau ini.
Tentang bahasa, tentu
sebagai bahasa daerah, masih kalah mentereng dengan bahasa nasional. Hanya
orang-orang tertentu yang masih mau mempelajari bahasa nenek moyang itu. Bahasa
Jawa mulai tersisihkan dari perpolitikan global. Tidak hanya bahasanya, tetapi
aksara yang mulai terasingkan. Jangankan aksara Jawa Kuna, aksara Jawa Baru
saja hanya sedikit yang mampu membacanya. Perbedaan prinsipil dari keduanya
adalah bahasa Jawa Kuna mengucapkan huruf “a” sesuai aslinya, sedangkan Jawa
Baru mengucapkan “a” menjadi “o”.
Hari ini bersama
sebagian kecil orang yang masih peduli dengan bahasa leluhurnya, mencoba
membaca Prasasti Gandhakuti yang menggunakan aksara Jawa Kuna di Pendopo museum
mpu tantular. Sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Gedangan, Sidoarjo, ini
menceritakan tentang Raja Airlangga dan putrinya.
Putri Kilisuci. Putri
pertama Raja Airlangga ini seharusnya menjadi penerus tahta kerajaan, namun dia
lebih memilih menjadi pertapa. Dia nyantri di Dharmagandhakuti di daerah Kambangsri.
Jika dilihat dari sudut pandang bahasa, kata “Bangsri” adalah nama sebuah desa
di kecamatan Sukodono, Sidoarjo. Perihal kesamaan bahasa masih belum ada
tanda-tanda yang menunjukkan kesamaan lokasi. Namun, jika dilihat dari lokasi
penemuan prasasti lempeng logam yang sekarang tersimpan di museum Monumen
Nasional ini, bisa jadi desa Bangsri yang sekarang adalah daerah Kambangsri
tempat putri Kilisuci nyantri. Dilihat dari kedekatan lokasi desa dan lokasi
penemuan prasasti. Tetapi, sekali lagi semua ini masih hipotesis awal.
0 Comments