Suryani

Tetesan  air kran menyambut kedatangan sang revolusioner. Membawa panji-panji kebajikan di seantero jagat raya. Tetesan-tetesan air itu sebagai tanda ketidaksempurnaan, ketidaksesuaian rencana, dan bagian dari kebenaran. Sesempurna mungkin kacamata manusia, pasti ada setetes keberpihakan. Entah salah atau benar, kebenaran subjektif tidak akan pernah mati. Akan terus tumbuh meski dalam sekup yang paling kecil. Bahkan akan semakin terus berkembang seiring perkembangan zaman dan derasnya arus globalisasi.
Akhir pekan (22/8) sebagai agenda saya bersama sahabat-sahabat pondok menyelesaikan bacaan AL-Qur’an di salah satu rumah warga. Kali ini merupakan awal pertemuan setelah sekitar dua bulan liburan. Pandangan saya seputar tentang Al-Qur’an tentang acara ini masih sama, saya takut generasi di masa depan mengkomersilkan Al-Qur’an sehingga tidak membaca Al-Qur’an apabila tidak ada sponsornya. Na’udzubillah.
Sementara itu, dalam menjalankan aktivitas pagi ini saya senantiasa memegang handphone barangkali ibu sudah sampai di Surabaya. Suryani, dialah sang matahari. Memberikan kehangatan kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Dengan senang hati saya menyambut kedatangannya di terminal Bungurasih. Sempat terjadi kebingungan pada diri saya karena sudah beberapa tahun ini saya tak pernah mengunjungi tempat ini. Dalam perjalanan menuju tempat tujuan pun sempat berputar-putar sebelum kembali menemukan jalan utama. Alhamdulillah.
Berkumpul bersama keluarga menjadi kebahagian tersendiri. Tidak ada yang menggantikan kemesraan dalam ruang keluarga, walaupun dewasa ini banyak orang mengukur tingkat kebahagiaan dan keberhasilan dari banyaknya uang yang terkumpul. Saya sih setuju, tapi saya lebih memposisikan uang sebagai jalan dan bukan tujuan utama. Tidak ada uang bukan menjadi masalah, yang penting bahagia.
Masih tentang uang, ibu membagi cerita dari kampung halaman orang-orang yang lebih mementingkan uang dari pada jalinan erat tali silaturrahim. Memang kita memerlukan uang, tetapi saya kira di sini masalahnya bukan uang tetapi label. Setiap orang ingin dipandang lebih dari yang lain. Sebagai manusia sudah menjadi hal biasa, tetapi dengan mengesampingkan rasa kemanusiaan hal itu tidak bisa dibenarkan. Mungkin kita perlu merubah mindset tentang kesuksesan, bahwa indikator kesuksesan bukan pada banyaknya uang yang terkumpul tetapi lebih kepada manfaat kepada sesama. Mau dilabeli manusia apa pun itu terserah mereka, yang terpenting bagaimana kita memberikan yang terbaik bagi sesama tanpa mengesampingkan  diri kita sendiri apa lagi pada saudara.
Di sudut yang lain, saya menyaksikan bahwa zaman sudah berubah. Teman bermain masa kecil dan tetangga-tetangga masa lalu juga sudah semakin tua. Zaman berubah dan keadaannya pun semakin kompleks. Banyak balita-balita yang dulu belum terlahir di muka bumi, sekarang memeriahkan suasana. Saya pun berinteraksi dengan kepada semua orang yang satu sama lain terkadang lupa. Maklum saja sudah lima belas tahun lebih tidak bertemu. Mereka hanya mengenal sesosok balita yang membaca dan menirukan suara Al-Fatihah sang imam dengan terbata-bata, itulah saya ketika berumur dua tahun. Kata mereka sih, saya sendiri sudah lupa he he he he he.

Post a Comment

0 Comments