Penuh sesak jalanan
Surabaya membuat tetesan keringat semakin mengucur deras. Kepulan asap
kendaraan bermotor memaksa setiap pengendara menggunakan pertahanan yang lebih
untuk menjaga kesehatan paru-parunya. Lampu lalu lintas yang cukup
menjengkelkan di salah satu jalan cukup mengulur waktu perjalanan menuju Rumah
Bahasa Surabaya. Bahasa Mandarin sebagai tujuan utama sore ini.
Konsep baru
kedaulatan bahasa Indonesia di masa depan semakin matang. Sore ini (19/8)
penjelasan dari Pak Sutoyo dalam kelas bahasa Mandarin cukup memberikan
pencerahan bagi saya. Kedaulatan bahasa yang diterapkan oleh China sebagai
referensi tambahan untuk benar-benar menerapkan kedaulatan bahasa Indonesia di
bumi pertiwi. China menerapkan peraturan bahwa siapa saja yang masuk ke negara
tersebut harus mengganti namanya dengan bahasa mandarin. Ini sebagai salah satu
cara mempertahankan budaya lokal dari derasnya arus globalisasi.
Cara tersebut bisa
juga diadopsi oleh bangsa Indonesia, sehingga kedaulatan bangsa ini semakin
nyata. Dari Sabang sampai Merauke tidak boleh menggunakan bahasa selain bahasa
daerah dan bahasa Indonesia kecuali kelas pembelajaran bahasa asing. Putra
bangsa yang kebetulan berada di luar negeri pun, apabila bertemu harus
menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah apabila kebetulan berasal dari
suku yang sama. Dan untuk orang-orang asing yang datang ke Indonesia, harus
mengguanakan bahasa Indonesia dan meyesuaikan namanya sesuai adat Nusantara.
Tidak ada kebanggaan kecuali hidup di negara yang benar-benar berdaulat.
Selain itu, proses
belajar mengajar berlangsung meriah. Bahasa Mandarin yang mempunyai aksen yang
bermacam-macam cukup menyulitkan para peserta. Tapi dari kesulitan itu berubah
menjadi candaan disebabkan karena keanehan suara yang muncul dari peserta ketika
di tes satu per satu oleh Pak Sutoyo. Pak Sutoyo memperhatikan kemajuan tiap orang
sehingga kelas tetap asik dan tak membosankan, inilah karakter pengajaran
beliau. Belajar bahasa memang asik, cocok sebagai obat untuk menghilangkan rasa
malu yang berlebih he he he he he.
Kemudian setelah
kelas Mandari usai, ternyata ada kelas baru bahasa Perancis. Tidak membuang
kesempatan, saya pun mengikutinya sembari menunggu azan maghrib. Lama tak
bersentuhan dengan bahasa Perancis dan kesempatan yang ada tidak saya
sia-siakan. Pembelajarannya pun lebih asik dan mudah diterima. Setelah itu,
sejenak saya mengistirahatkan otak menghadap Ilahi Rabbi.
Pelataran Balai
Pemuda malam ini cukup ramai. Banyak para pekerja yang sibuk mendirikan
panggung yang cukup besar. Entah untuk acara apa tempat ini bukan menjadi
masalah bagi saya. Di sudut yang lain, gerakan serempak para penari cilik
menarik hati saya. Keluwesan gerak mereka seakan menarik para penonton untuk
mengikutinya. Semakin dekat dengan arena tari, kita bisa menyaksikan ada garis
besar pembeda yang membelah para penari menjadi dua bagian. Sebagian kelompok
adalah penari tradisional yang cukup ramai dengan pernak-pernik pakaiannya,
sedangkan sebagian yang lain adalah penari luar dengan kesederhanaan pakaian
dan kekakuan gerakan. Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa budaya
Nusantara lebih unggul.
Puas menikmati
tarian anak negeri, saya mencari ketenangan di perpustakaan umum Surabaya.
Tidak begitu banyak pengunjung malam ini, terlihat sunyi dan tenang. Saya pun
segera mencari buku referensi untuk mendukung tulisan yang diamanahkan kepada
saya. Sebagai materi Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) 2015
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Tepat pukul 21.00 WIB
saya kembali menuju pondok. Pelataran Rumah Bahasa Surabaya cukup ramai malam
ini. Keramaian itu mengantarkan saya untuk kembali, kembali ke kawah
candradimuka. Di pintu keluar, ada sebuah banner besar yang penuh dengan
tulisan. Ternyata panggung yang didirikan malam ini untuk mempersiapkan acara
yang telah tertulis di banner ini. Pendidikan dari segala macam sudut pandang.
Ingin rasanya mengajak adik dan orang tuaku ke acara ini, mumpung minggu depan
berkunjung ke Surabaya.
0 Comments