Tetesan embun
pagi senantiasa menyejukkan kalbu. Hamparan padi menghijau menyapa setiap jiwa dengan
keramahannya Semilir kesejukan udara pagi pun seakan membelai lembut setiap makhluk
ciptaan-Nya. Mengiringi semangat para petani yang bergerak dengan gagah. Serpihan
cahaya sang surya tak lupa memancar penuh semangat menyambut setiap harapan. Cinta
kasih tulus pejuang agraria, membanting tulang dan memeras keringat demi kesuksesan
sang buah hati. Menempa diri menghadapi kerasnya kehidupan Metropolis untuk
memperjuangkan mimpi. Terwujudnya mimpi sebagai ucapan terima kasih kepada sang
sutradara kedua atas cinta kasihnya.
Tatapan mata
ini tertuju pada sebuah tempat yang sekian lama telah kutinggalkan. Tempat
mengukir mimpi bersama sahabat-sahabat seperjuangan yang kini tak pernah lagi
merasakan kebersamaan bersama mereka. Perbedaan hobi dan impian mengantarkan
kami menuju tempat yang berbeda-beda, berjuang menorehkan prestasi di lembar
sejarah manusia. Harapan tinggi terhadap mimpi-mimpi yang telah kami tuliskan
di dinding-dinding gubug, tercapai dengan jalan cerita menggembirakan.
Tidak ada kebahagiaan yang lebih tinggi selain berkumpul bersama
sahabat-sahabat dalam kemesraan ilmu, kemilau cerita, dan berjuta kisah dengan
balutan persaudaraan dalam naungan dan anugerah sang Ilahi.
Tidak ada yang
berubah dari tempat ini, hanya lebih kotor dengan dedaunan kering berserakan di
setiap penjuru ruangan. Sejenak kiranya perlu membersihkan tempat ini dan
menghamparkan tikar pandan yang senantiasa memberikan kenyamanan kepada
tuannya. Sambil menyaksikan hamparan pemandangan persawahan yang menenangkan,
lantunan kalam Ilahi menemani pagi ini dengan harapan bisa melakukan hal yang
sama di Masjid Al-Haram suatu saat nanti. Konsentrasiku terpecah ketika salah
seorang petani menyapa dan duduk di sampingku, beliau adalah salah satu modin
di kampung ini. Dengan bahasa Jawa yang kental kami bercakap-cakap.
“Bagaimana
kabarnya mas Ardi?” Kata beliau sambil menyalamiku.
“Alhamdulillah,
sehat dan senantiasa dalam lindungan-Nya.” Jawabku.
“Bagaimana
perjalanan ke tanah Haram pekan lalu mas?” Tanya beliau.
“Lancar dan
tanpa kurang suatu apa pun, Pak.” Jawabku.
Setelah wisuda
dari kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya program studi pendidikan
bahasa Arab, aku segera melamar ke berbagai biro tour dan travel umroh. Selain
mengajar di salah satu sekolah, program studi pendidikan bahasa Arab juga
menyediakan program ketrampilan terjemah dan pariwisata. Pariwisata sebagai
konsentrasi pilihan mengantarkanku menjadi guide di salah satu perusahan
penyedia jasa tour dan travel umroh, Pustakhatulistiwa. Beberapa minggu yang lalu
manajemen perusahaan memberikan amanah kepadaku untuk menjadi pembimbing umroh
salah satu rombongan asal Indonesia.
“Apa yang
menarik dari perjalanan kemarin, mas Ardi?” tanya beliau.
Tanpa pikir
panjang, aku menceritakan perjalananku ke tanah Haram. Masih terbersit dalam
benak sebelum meninggalkan kampung ini, ucapan yang masih kuingat dari diri
beliau adalah impiannya untuk pergi ke tanah Haram.
“Ketika
menginjakkan kaki di bandara King Abdul Aziz, Saudi Arabia, sepanjang langkahku
dipenuhi kebahagiaan. Walaupun belum mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi, aku diberi kesempatan mengunjungi tanah Haram.
Impian sekaligus kewajiban setiap muslim di dunia. Dalam hati tak
hentinya-hentinya bertasbih menyebut nama-Nya menyaksikan kenyataan yang dahulu
hanya sebatas tulisan di atas kertas.”
“Dari bandara
King Abdul Aziz, kemana perjalanan selanjutnya?” Pak modin menyela.
“Perjalanan
dilanjutkan menuju hotel tempat para jamaah menginap. Sepanjang perjalanan di
dalam bus, aku memandu para jamaah menyaksikan tempat-tempat bersejarah tanah
ini yang berada di sekitar rute menuju hotel. Tanah yang melahirkan manusia paling
mulia, penyempurna akhlak dan penghapus segala bentuk keangkaramurkaan di muka
bumi, Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Kami memasuki
kota Makkah, ditandai dengan gapura berbentuk Al-Qur’an raksasa. Mayoritas
jamaah takjub akan kemegahan gapura ini, ekspresi raut wajah mereka
berbeda-beda satu sama lain. Ada yang terharu, menangis, bahagia, dan bermacam-macam
raut muka tanda kebahagiaan. Mulai dari pintu gerbang masuk kota Makkah,
senantiasa kuingatkan para jamaah untuk selalu menyebut nama-Nya. Bertasbih
akan keagungan dzat-Nya. Hingga pada suatu tempat tak mampu kutahan tetesan air
mataku”
“Tempat apa
mas Ardi?” Tanya pak modin.
“Universitas
Ummul Qura” Jawabku.
“Apakah mas
Ardi menginginkan untuk melanjutkan pendidikan di sana?” sahut beliau.
“Dalam hati
tidak ada yang menolak apabila mendapatkan kesempatan belajar di kampus ini.”
Jawabku.
“Semoga apa
yang menjadi impian setiap pemuda di negeri ini tercapai. Tidak melupakan tanah
kelahirannya dan mengamalkan ilmu yang telah mereka dapatkan di luar sana.
Memberikan yang terbaik terhadap bangsanya, memperjuangkan apa yang benar dan
tidak meributkan siapa yang benar.”
Takjub melihat
jawaban beliau, membuatku terpana akan kebijaksananaannya. Mulutku seakan
terkunci tak mampu mengeluarkan kata-kata ketika mendengar jawaban beliau.
Sebuah jawaban yang menyimpan berjuta makna akan ketidakberdayaan seorang
rakyat terhadap penguasa. Perebutan jabatan yang hanya untuk kepentingan
pribadi sehingga membuat rakyat kebingungan. Tidak menentunya harga BBM, dualisme
kurikulum pendidikan dan berhentinya kompetisi sepak bola Nasional menjadi beberapa
masalah di antara beribu masalah yang terjadi di negeri ini.
“Bagaimana
situasi di Masjid Al-Haram?” tanya beliau.
“Ketika
memasuki Masjid Al-Haram suasananya penuh sesak, tetapi tidak seramai musim
haji. Bersama rombongan, kami menunaikan tawaf, mencium hajar aswad, dan berdoa
di Hijir Ismail.”
“Apa doa mas
Ardi?” gurau beliau sambil menyenggolku.
“Ada tiga hal
yang menjadi harapan saya pak. Pertama, semoga Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilepaskan dari segala bentuk kemunafikan. Kedua, semoga setiap
muslim yang bermimpi dan pantas mengunjungi baitullah, segera diberikan
kesempatan untuk mengunjunginya. Ketiga, semoga setiap pemuda Indonesia
diwujudkan mimpi-mimpinya dan diberikan yang terbaik atas apa yang telah mereka
usahakan. ” Jawabku.
Raut
wajah beliau begitu berbinar-binar ketika mendengar jawabanku. Setelah itu
beliau berpamitan untuk menggarap sawahnya. Aku meninggalkan gubug impian
ini, kembali menuju rumah karena ada beberapa kewajiban yang harus
diselesaikan. Dari kejauhan, terlihat amplop coklat di depan pintu. Tanpa pikir
panjang segera kuambil dan tertulis amplop ini untukku. Dibalik amplop ini
tertera alamat pengirim dari Jami’ah Ummul Qura, Makkah Al-Mukarramah,
Saudi Arabia.
0 Comments