Whoosh Bukit Akasia Sumedang


 

Ada yang datang dan terus membersamaimu sampai nanti

juga dia yang hadir dalam hidupmu lalu pergi tak kembali

tapi sahabatmu, seterpisah bagaimanapun

ia memang lahir sebagai sajak

yang senantiasa beresonansi

dan manunggal dalam diri


Sajak di atas terinspirasi dari lukisan Tasaro GK di kediamannya. Betapa keluarga dan sahabat menjadi bagian penting dalam hidup. Bukan tentang kesempurnaan, tetapi bagimana tentang penerimaan akan ketidaksempurnaan dalam hidup. Keluarga dan sahabat lah tempat kembali. Kembali dalam arti yang tidak sebenarnya, karena pada hakikatnya tempat kembali hanyalah kepada Yang Esa.

Bukit Akasia, adalah tempat yang dibangun secara imajiner oleh Tasaro GK. Namun, betapa mengagumkannya kekuatan sebuah tulisan, yang menjadi nyata. Merubah sebuah tempat yang dianggap tak bermakna, menjadi tempat yang berharga. Bukit Akasia, sebenarnya adalah perbukitan Gunung Geulis Sumedang, disulap sedemikian rupa oleh Tasaro GK, penulis novel Tetralogi Muhammad, Dwilogi Al-Masih, Sembilu-Shirath, dan masih banyak lagi.

Lembaga Pendidikan Sekolah Dasar Alam Bukit Akasia, tempat nyantai Balandongan, Pasar Rakyat Minggu, penginapan dan juga tenda, tersedia di bukit akasia. Tempat ini tak jauh dari rumah Tasaro GK. Kita hanya perlu berjalan menanjak, bagi yang kurang terbiasa beraktifitas fisik, membuat nafas kita ngos-ngosan.



Di Bukit Akasia, saya banyak berdiskusi bersama Cak Baha’. Ya, saat itu Tasaro masih mengantarkan putranya les koding. Kami menunggu di sebuah kantin dengan pemandangan Kota Bandung dan pepohonan akasia. Terakhir kali ke tempat ini pohon-pohon ini belum ada, menurut keterangan Bahauddin yang lebih akrab dipanggil Cak Baha’. Menjelang senja kami menuruni Bukit Akasia untuk bertemu Tasaro. Kami bertemu di lahan yang sangat luas, sedang digarap untuk perluasan lembaga pendidikan. Lokasinya tepat di belakang rumah Tasaro. Terlihat anak-anak sedang bermain lumpur, kembali ke alam.

Perjalanan ke Bukit Akasia bukan sebuah kebetulan. Saya sudah berencana jauh hari bersama Cak Baha’. Cak Baha’ sudah berinteraksi lama dengan Tasaro GK, bahkan beberapa kali agenda, Cak Baha’ lah manajernya. Kami sudah bersepakat ketika ada agenda ke Bandung, kita sempatkan bersilaturrahim ke kediaman Tasaro GK. 

Kami berangkat dari Jakarta menggunakan Kereta Cepat Whoosh. Ini pertama kalinya bagi saya mencoba moda transportasi ini sejak pertama kali diluncurkan oleh pemerintah. Whoosh membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke Bandung dari Jakarta. Bentuk kereta ini keren banget, cocok dengan namanya. Warna eksteriornya mengesankan Indonesia banget, merah dan putih mendominasi. Interiornya juga nyaman, bersih, dan sejuk. Kita bisa melihat jalan tol MBZ dari atas. Tiket agar bisa naik Whoosh dibandrol Rp. 200.000,- ketika weekday dan Rp. 250.000,- ketika weekend. Whosh…Whosh…Whoosh…Yes…!

Nama Whoosh, tentu tidak asal dipilih. Begitu juga dengan logonya. Menurut beberapa sumber, Whoosh merupakan singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat. Sementara logo resmi Whoosh dipilih melalui sayembara Identitas Jenama (nama dan logo) Kereta Api Cepat Indonesia oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Dikutip dari laman resmi KCIC, Identitas Jenama Kereta Api Cepat Indonesia 'Whoosh' didesain oleh studio desain Visious. Nama "Whoosh" mewakili suara lesatan kereta cepat. Whuuuuuusssssss......

Logo dan jenama ini terinspirasi dari efek riak dari Kereta Cepat yang juga secara langsung menggambarkan manfaat berantai Kereta Cepat kepada masyarakat. Logo ini mengaplikasikan warna kontras yang mencolok serta karakter yang tegas sebagai bentuk ekspresi bahwa logo ini memberi ekspresi kegesitan, kekuatan, keberanian, ketegasan, dan ketajaman visi untuk masa depan.



Kami kembali ke Jakarta menggunakan Whoosh, setelah memesan ojek mobil melalui aplikasi online dari depan rumah Tasaro. Perjalanan kurang lebih 45 menit untuk sampai di Stasiun Kereta Cepat Tegalluar. Kami melewati masjid kebanggaan warga Jawa Barat, Masjid Al-Jabbar yang cukup megah.

Sampai di Jakarta, saya memutuskan untuk naik LRT. Ini pertama kali bagi saya sejak tinggal di Jakarta. Dengan naik LRT, kita bisa melihat pemandangan lalu lintas kota Jakarta. Jalanan yang cukup ramai dan pemandangan gedung bertingkat. LRT saya pilih karena terintegrasi dengan Stasiun Kereta Cepat dan Stasiun KRL.

Post a Comment

0 Comments