Landasan
dari keterhubungan manusia adalah adanya harapan. Harapan tersebut bergerak ke
segala arah dan tak teratur. Maka agar harapan tersebut tercapai dan tidak
saling berseberangan, perlu aturan-aturan yang mengatur jalannya harapan. Tidak
jarang adanya aturan-aturan tersebut membuat manusia menahan diri sejenak.
Dalam sejarah perkembangan manusia, banyak tertulis manusia-manusia yang
bersusah payah menahan diri dengan caranya masing-masing.
Sidharta Gautama menenangkan diri dengan nyepi di bawah pohon Bodhi. Maria mengasingkan diri nyepi dari keramaian manusia ke Baitul Maqdis, Nabi Muhammad SAW beruzlah, nyepi di Goa Hira’ dan Ibnu Hajar al-Asqalani menahan diri dengan merenungkan tetesan air dalam kesepian. Beruntung siapa saja yang meluangkan waktu untuk nyepi seperti orang-orang terdahulu. Mengasingkan diri melakukan Catur Brata Penyepian: amati geni, amati lelanguan, amati pakaryan dan amati lelungan.
Sidharta Gautama menenangkan diri dengan nyepi di bawah pohon Bodhi. Maria mengasingkan diri nyepi dari keramaian manusia ke Baitul Maqdis, Nabi Muhammad SAW beruzlah, nyepi di Goa Hira’ dan Ibnu Hajar al-Asqalani menahan diri dengan merenungkan tetesan air dalam kesepian. Beruntung siapa saja yang meluangkan waktu untuk nyepi seperti orang-orang terdahulu. Mengasingkan diri melakukan Catur Brata Penyepian: amati geni, amati lelanguan, amati pakaryan dan amati lelungan.
Nyepi
ibarat spasi di antara barisan kata dalam kalimat. Nyepi adalah puasa, menahan
diri sejenak untuk meraih kepuasan. Nyepi adalah jalan keluar untuk melangkah
lebih jauh memaknai kehidupan, Bukan sebuah kebetulan kata puasa berdekatan
dengan kata puas, alam seakan memberikan isyarat bahwa dengan puasalah kepuasan
itu dapat dirasakan. Orang-orang terdahulu berhasil memperoleh pencerahan
setelah melakukan nyepi, menaklukkan dua kekuatan besar yang menguasai manusia.
Dua kekuatan besar itu menurut Al-Ghazali disimbolkan dengan anjing dan babi.
Anjing sebagai symbol manusia yang gandrung akan kekuasaan, pengaruh atau
agresi, sedangkan babi sebagai symbol perut yang seringkali rakus dan tak
pernah puas dengan apa yang ada.
Dua
kekuatan besar di era revolusi industry 4.0 ini menjelma menjadi cebong dan
kampret. Cebong sebagai symbol manusia yang memposisikan pemilu sebagai upaya
memperpanjang jalan tol dan kampret sebagai symbol manusia yang memposisikan
pemilu sebagai Perang Badar. Mungkinkah untuk tidak memilih golput tanpa
menjadi cebong atau kampret? Realitanya, ketika seseorang bercerita tentang
pemandangan indah sepanjang tol akan dianggap dalam barisan cebong, sedangkan
ketika seseorang bercerita tentang anggaran penelitian dan pengembangan yang
sangat memprihatinkan akan dianggap sebagai barisan kampret.
Amati Geni
Mengendalikan
api kebencian yang bisa membakar persatuan dan kesatuan. Pemilu bukan tentang
kalah atau menang, pemilu juga bukan siapa yang terbaik atau siapa lebih baik
dari siapa melainkan tentang musyawarah mufakat. Digitalisasi teknologi bukan
untuk siapa menyindir siapa, melainkan fokus pada kelebihan diri dengan menyimpan
kekurangan yang lain. Jika tak bisa berkomentar dengan baik, maka lebih baik
untuk nyepi dari keramaian informasi yang bertebaran di jagat dunia maya.
Amati Lelanguan
Mengendalikan
diri dari perdebatan yang berujung konfrontasi. Nyepi dari lalu lintas
penafsiran sepihak atau pentasrifan tanpa pedoman. Berusaha untuk tidak
membohongi diri sendiri dengan mengatakan bahwa orang lain pembohong. Setiap
manusia dalam proses pembelajaran yang tidak ada habisnya. Kekafiran diri sendiri
seringkali tidak terasa, namun memaafkan orang lain dengan membiasakan diri
bertutur dan senyum teratur membuat hidup terasa lebih indah.
Amati Pakaryan
Bersikap
adil terhadap diri sendiri dan orang lain secara seimbang. Membangun moderasi
sejak dalam pikiran sebagai modal awal untuk tidak berlebihan dalam mengumpat
atau menyanjung, bekerja atau berlibur
dan mencari atau menjadi. Mencari sebagai upaya mengeksplorasi kemampuan dan
kemauan untuk berbuat yang terbaik, sementara menjadi sebagai upaya untuk
berfikir, merenungi, merencanakan dan menjadikan setiap apa yang terjadi adalah
yang terbaik. Sampai kapan manusia terus berlari untuk mencari, sudah waktunya
untuk menjadi dan setelah itu akan dicari.
Amati Lelungan
Apa
yang telah pergi tidak akan kembali. Pergi bukan sekedar perpindahan tanpa
arti, melainkan menyucikan hati menjadi berarti. Tidak semua yang pergi
ditandai dengan perpindahan yang berarti, maka berhenti untuk memaknai arti
kata suci lebih terpatri. Diam tanpa henti dalam suatu detik yang terus berlari
mengejar mentari esok hari.
Agama
adalah jalan, bukan tujuan. Jalannya orang-orang yang telah selesai dengan
dirinya sendiri. Memperoleh pencerahan dari Sang Maha Kuasa, sehingga menjadi
manusia paripurna. Memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang taat dalam
menjalankan dharma dan senantiasa mengingatkan jiwa-jiwa yang masih terpenjara
dalam dunia. Tidak ada jalan selain kemanusiaan, saling tolong-menolong dan
menebarkan kasih kepada sesama. Setiap kehidupan pasti akan berakhir, tidak ada
jalan lain selain kasih Tuhan. Mengandalkan kemampuan diri tanpa berharap
kepada Sang Maha Kuasa adalah pondasi kesombongan. Nyepi sebagai jalan untuk
merawat kemampuan diri dengan untaian mantra-mantra.
Selamat
Hari Raya Nyepi!
https://news.detik.com/kolom/d-4457325/nyepi-40
https://news.detik.com/kolom/d-4457325/nyepi-40
0 Comments