Badan Student Crisis Center Identifikasi Penyalahgunaan Istilah Kafir


Di serambi Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya, Badan Student Crisis Center kembali mengadakan diskusi mingguan (18/3). Kali ini ditemani oleh Mas Ardi selaku perwakilan Aswaja NU Center Jatim. Tema yang dibahas pada sore hari ini terkait penyalahgunaan istilah kafir oleh sebagian kelompok.

Penyalahgunaan ini seringkali menodai nilai-nilai kemanusian yang menjurus kriminalitas dan pertumpahan darah. Oleh karena itu, Nahdlatul Ulama selaku organsasi penjaga perdamaian di Indonesia menggunakan istilah non-muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam anggaran dasar NU menyebutkan bahwa aqidah NU adalah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan asasnya adalah Pancasila.

Harta yang paling berharga bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Saripati nilai luhur yang dijadikan pandangan hidup dalam mengolah kekayaan alam dan budaya. Senyuman menjadi wujud syukur rakyat dalam hidup bermasyarakat. Hidup dalam kesataraan bahwa tidak ada yang lebih superior antar-sesama manusia. Sadar bahwa hanya ada satu kekuatan yang menguasai seluruh alam semesta, tak bisa diumpamakan dan digambarkan oleh akal: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Nilai Pancasila telah mengakar dalam kehidupan jauh sebelum Pancasila dicetuskan. Nilai yang berasal dari rakyat, bukan ciptaan atau karangan seorang tokoh tertentu. Oleh karena itu kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sebagai sumber kebijaksanaan hasil dari permusyawaratan. Bahwa segala masalah, pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Pancasila bukanlah agama, melainkan kesepakatan hidup bernegara dalam keberagaman dan keber-agama-an. Rakyat tidak semestinya dibenturkan dengan terminologi agama seperti kafir dalam Islam, maitrah dalam Hindu, abrahmacariyavasa dalam Buddha atau domba yang tersesat dalam Kristen. Rakyat adalah sebutan bagi penduduk Indonesia dan memiliki persamaan di depan hukum. Indonesia mengakui enam agama yaitu Hindu, Buddha, Katholik, Kristen, Konghucu dan Penghayat. Oleh karena itu, terminology agama seyogyanya tidak digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa meniadakannya. Terminologi agama tersebut tetap digunakan di agama masing-masing dan tidak merubah satu pun ajaran agama.

Kafir
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia menjadi percontohan dalam merawat perbedaan menjadi rahmat. Bhinneka Tunggal Ika berhasil menyatukan perbedaan tanpa berusaha menyamakan atau meyeragamkan, karena perbedaan sebagai fitrah manusia untuk saling mengenal.

Tidak ada paksaan dalam beragama. Paksaan tersebut bisa berupa ancaman atau kekerasan, sehingga bisa dimaknai bahwa tidak ada agama dalam kekerasan. Orang yang melakukan kekerasan sebenarnya tidak beragama sekalipun mengaku memeluk agama tertentu. Meskipun dalam Islam mengenal istilah taubat, namun orang yang melanggar hukum tetap wajib menerima konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya.

Al-Quran sebagai kitab suci umat Muslim dengan sastra Arab yang cukup tinggi. Ketinggian tata bahasa Al-Quran seringkali tak mampu dipahami oleh umat muslim secara sempurna. Sehingga menyebabkan terciptanya kelompok-kelompok berdasarkan pemahaman masing-masing terhadap kitab suci.

Sepanjang sejarah umat muslim ada beberapa perbedaan sikap kelompok-kelompok dalam menyikapi status kafir. Khawarij menganggap orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir sehingga harus dibunuh, Syiah, Murjiah menganggap bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak kafir, Qadariyah, Syiah dan Muktazilah menganggap orang yang berdosa besar tidak kafir dan bukan mukmin, tetapi fasiq yaitu kekal di neraka. Dan Sunni menganggap bahwa orang yang melakukan dosa tetaplah mukmin. Di antara beberapa pendapat kelompok tersebut, yang paling berbahaya ketika hidup di Indonesia adalah Khawarij yang mengharuskan membunuh kafir dan pelaku dosa besar. Di Indonesia, sudah tidak ada lagi yang menentang atau mengancam umat Muslim karena Non-Muslim hidup berdampingan dengan umat Muslim, bahkan saling bertanggung jawab dalam hidup bernegara.

Organisasi yang seringkali membuat kerusakan dan mengatasnamakan agama diantaranya ISIS, Al-Qaeda dan HTI. Menyebut pemerintah yang sah sebagai kafir, negara thagut, tidak mau mengikuti upacara bendera dan penghormatan, sebagai tanda-tanda kerusakan sosial. Kelompok ini merekrut orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang lemah dengan iming-iming surga.

Post a Comment

0 Comments