Sebuah forum diskusi sederhana, menghadirkan orang-orang
sederhana yang luar biasa, diselenggarakan di aula PWNU Jawa Timur (2/6),
beruntung bisa menyerap energy positif dalam diskusi ini. Tuan rumah dari forum
ini adalah siapa saja yang sadar akan keberagaman kebangsaan, sehingga berupaya
merawat keberagaman tersebut dalam pola beragama yang ramah.
Cak Kir atau cangkruk sambil mikir merupakan sebuah forum
diskusi yang dikenal dengan nama Cangkir Sembilan. Para professional yang hadir
pada malam ini diantaranya Menteri Pemuda dan Olah Raga Imam Nahrawi, Pendeta
Simon Filantropa, Wakil Bupati Trenggalek Mas Arifin, Kemahasiswaan UNAIR Dr. Subhan
Hadi dan Prof. Akh. Muzakki selaku sekretaris PWNU Jatim.
Menpora Imam Nahrawi mengawali perbincangan dengan menceritakan
masa lalunya sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Ampel Surabaya
yang dulu masih bernama IAIN. Beliau menceritakan tentang prosesnya dalam
proses belajar, menjadi guru TPQ, takmir masjid dan jenjang karirnya di
Surabaya.
Beliau menceritakan bagaimana aktivitas kultural sebagai pondasi
merawat keberagaman dalam bingkai keberagamaan di negeri ini. Target dari
kelompok-kelompok intoleran tentu apa dan siapa saja yang masih merawat
kebudayaan sebagai pemersatu bangsa. Ikhlas dalam merawat kebudayaan sebagai
kekuatan kultural, membudayakan gotong royong dan menggotong-royongkan
kebudayaan.
Di samping itu, Imam Nahrawi menekankan pentingnya olahraga
dalam setiap kesempatan. Beliau menyarankan agar mendahului setiap muktamar,
musyker, konferensi, dengan olahraga agar energy negative habis di lapangan.
Selain dari pada itu, Menpora juga menekankan aktivitis untuk kembali ke masjid
dan menjadikan rumah ibadah sebagai pusat kegiatan social kemasyarakatan. Ini
sebagai lanjutan penjelasan beliau setelah menjadi pemateri utama dalam Seminar
Nasional yang diselenggarakan Masjid Nasional Al-Akbar menjelang buka puasa
dengan tema Peran Remaja Muslim dalam Menangkal Paham Radikalisme untuk
Menjaga Kedaulatan NKRI.
Penjelasan dilanjutkan oleh Prof. Akh. Muzakki, M. Ag, Grad Dip.
SEA, M. Phil, Ph. D. Beliau memetakan pola aksi terorisme yang terjadi di
Indonesia dari tahun ke tahun. Satu kata unik yang beliau sampaikan adalah jihad
demografi. Pelaku mencetak loyalis dengan memanfaatkan ayat kitab suci
untuk kepentingan radikal, yaitu dengan cara menikah berkali-kali dan memperbanyak
keturunan.
Cara lain yang digunakan pelaku dalam mencetak loyalis adalah
dengan merekrut pemuda. Pemuda tidak punya masa lalu, namun memiliki masa
depan. Sehingga pemuda lebih mudah tertipu dengan bualan surga yang biasa
menjadi andalan. Selain itu, mereka yang tidak mempunyai dasar pondasi
keagamaan yang kuat akan sangat mudah dibujuk, dengan karakter belajar dari
kiri ke kanan.
Untuk mereka yang sudah belajar agama sejak kecil dalam
bimbingan kiai, pelaku akan menjauhkan masyarakat dari kiai beserta
ajaran-ajarannya. Pendidikan formal yang begitu plural, akan sangat mudah merayu
generasi muda yang sebelumnya tak mempunyai pemahaman agama yang kuat.
Nihilisasi pemahaman sebelumnya, dengan dibawa ke sebuah tempat yang
seakan-akan Baitul Arqam. Proses inilah awal dari segala bentuk aksi terorisme.
Dilanjutkan dengan Pendeta Simon Filantropa, beliau menjelaskan bahwa
apa yang terjadi akhir-akhir ini akibat kita terlalu nyaman dan merasa aman
sehingga terlenakan. Di samping itu, Jawa Timur juga belum memiliki
peneliti-peniliti yang focus dalam bidang ini seperti apa yang dimiliki
provinsi di barat.
Pendeta mengajak jamaah untuk melawan lupa dari segala bentuk
aksi terorisme. Mengutip teori dari Derrida bahwa manusia hidup di dunia
kata-kata, tidak ada apa-apa di luar dunia kata-kata. Oleh karena itu, marilah
kita memproduksi kata-kata yang baik untuk memperbaiki hidup di dunia kata-kata
yang indah.
Dr. Hadi Subhan selaku bagian kemahasiswaan UNAIR menambahkan
terkait pemetaan penanggulangan radikalisme di kampusnya. Mengawali pembicaraan
dengan joke yang cukup jenaka, beliau menganalogikan dosen yang terserang virus
radikalisme ini dengan pengedar narkoba sehingga perlu ditindak. Sedangkan
mahasiswa yang terindikasi virus radikalisme, cukup diberi pembinaan dan
bimbingan. Selain rehabilitasi, pengaktifan kegiatan mahasiswa juga membantu
mengurangi interaksi antara pelaku dan sasaran mahasiswa. Beliau menutup
pembicaraan dengan slogan NKRI Harga Mati, NU harga diri.
Kemudian perbincangan diakhiri oleh Mas Arifin yang sekarang
menjabat sebagai Wakil Bupati Trenggalek. Beliau menggambarkan tentang spirit
gerakan radikalisme yang menjadikan pergerakan sebagai spirit dengan cara
memirip-miripkan korban dengan suatu peristiwa keagamaan tertentu.
Beliau melakukan autokritik dan berusaha membangkitkan
pergerakan pemuda yang selama ini terlenakan. Oleh karena itu jangan heran jika
banyak artis yang lebih banyak mempromosikan bibit radikalisme dari pada
gerakan social kemasyarakatan. Mas Arifin mengutip Rumus Matematika Perbedaan
Yudi Latif, bahwa kita ibarat bilangan pecahan. Pembilang ibarat kebinekaan dan
Pancasila sebagai penyebut yang mengikat kita dalam sebuah perjanjian.
PWNU Jawa
Timur
Sabtu, 2
Juni 2018
0 Comments