Sejarah perkembangan Islam di
Indonesia yang diperkirakan telah berlangsung sejak abad XV, menunjukkan ragam
perubahan pola, gerakan, dan pemikiran keagamaan. Perubahan sosial pada masa
ini sangat luas cakupannya. Perubahan sosial itu terjadi disebabkan oleh
persebaran agama Islam beserta sistem politiknya yang ditandai dengan adanya
perubahan keyakinan keagamaan dari masa kejayaan agama Hindu-Budha ke masa
perkembangan agama Islam.[1] Dan jauh sebelum itu, perlu kita ingat
bahwa di Nusantara ini berkembang kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah
dianut oleh nenek moyang. Pertanyaannya, apakah agama itu? Apakah kepercayaan itu? Apakah agama bisa diartikan kepercayaan?
Apabila demikian, maka orang-orang yang percaya tidak ada Tuhan adalah orang
beragama, agama ateis. Apabila tidak, di mana batasan antara agama dan kepercayaan?
Ada dua
kekuatan yang mewarnai dunia. Kekuatan itu yang pertama ialah agama dan
yang kedua ialah kepercayaan. Orang yang mewarnai dunia juga ada dua, ulama’ dan filosof. Sejarah telah mempertontonkan
adanya manusia yang berani mati untuk dan karena agama yang dianutnya. Orang
mengorbankan harta, pikiran, dan tenaga, atau nyawa sekalipun untuk dan karena
kepercayaan yang dianutnya.
Ada orang yang rela dibakar
hidup-hidup oleh orang yang merasa agamanya disentuh. Ada juga orang yang rela
dijemur dan diapit batu besar untuk mempertahankan agama yang dianutnya.
Begitulah yang telah, sedang dan akan terjadi. Agama mengatur dunia, tidak
jarang bentrokan besar terjadi karena latar belakang agama. Agama memang menjauhkan kita dari dosa,
tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?
Selain
kenyataan itu, sejarah telah mencatat pula adanya orang yang berani mati,
karena meyakini sesuatu yang diperolehnya sebab memikirkannya. Sesuatu dipikirkan sedalam-dalamnya hingga sampai pada
kesimpulan yang dianggapnya benar, sehingga mempengaruhi sikap dan tindakannya.
Socrates sanggup mati dengan cara meminum racun, sebagai hukuman baginya,
karena mempertahankan kebenaran kepercayaan yang dianggapnya benar.[2]
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan lingkungan. Sedangkan kepercayaan adalah anggapan
atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar dan nyata. Jadi, batasan
antara agama dan kepercayaan ada pada sistem. Seorang yang percaya belum tentu
beragama dan seorang yang beragama pasti percaya.
Dalam
konteks kekinian, pergolakan begitu ramai terjadi di Timur Tengah, silih berganti dan seakan tidak akan pernah
selesai. Apakah karena agama? Tentu tidak. Indonesia yang menempatkan
relegiusitas sebagai sila pertama dalam Pancasila sebagai bukti bahwa pergolakan
yang terjadi bukan murni karena agama. Tetapi tidak ada senergitas antara
ulama’ dan umara’ serta kurang menghormati jasa para pahlawan dengan
membumihanguskan makam-makam dan jejak peninggalan peradaban yang mereka anggap
bid’ah. Sehingga terjadilah peperangan akibat kurang mengetahui sejarah
bangsanya karena tidak adanya situs sejarah.
Indonesia
sebagai negara yang mayoritas penduduknya mempunyai agama relatif sama dengan
negara-negara Timur Tengah, hidup tenang, damai dan sejahtera dalam keberagaman.
Islam berdampingan dengan tradisi dan tradisilah yang menjaga Islam semakin
indah dan bermakna. Menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan syariat
agama dengan khusyu’. Inilah bentuk negara dan masyarakat madani yang
dicontohkan Rasulullah SAW ketika berdakwah di Madinah, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan dasar Pancasila dan sistem demokrasi. Tidak perlu menggantinya
dengan Negara Islam.
Terbentuknya
masyarakat madani tidak terlepas dari peran Walisongo[3] yang menyebarkan Islam
dengan damai dan berdampingan dengan tradisi. Dari segi nasab, kesembilan wali
tersebut sangat dekat kekerabatannya. Sebagai tokoh utama adalah Maulana Malik
Ibrahim atau Makdum Ibrahim as-Samarkandy atau Sykeh Maghribi yang merupakan.
Seorang Persia yang menikah dengan Puteri Raja Champa, Samudera Pasai. Putra
tertua adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Sunan Ampel menikah dengan puteri
adipati Tuban dan dikaruniai beberapa keturunan, diantaranya Raden Maulana
Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang dan Raden Qasim atau Raden Syarifuddin yang
lebih dikenal dengan Sunan Drajat. Maulana Malik Ibrahim merupakan kakak dari
ulama besar di Pasai yaitu Maulana Ishak, ayah dari Syaikh Ainul Yaqin atau Raden
Paku atau Sunan Giri. Sunan Giri merupakan murid Sunan Ampel yang paling
disayangi melebihi puteranya karena kecerdasan dan ketekunannya dalam
mempelajari ilmu-ilmu agama.
Sunan Bonang
dikarunia beberapa keturunan. Salah satunya adalah Syarifah Dewi Rahil yang
menikah dengan Sayyid Utsman haji, putra Sultan di Palestina yang bernama
Sayyid Fadhal Ali Murtadlo yang berhijrah hingga sampai ke Jawa dan diangkat
sebagai panglima perang Kesultanan Demak. Dari pernikahan ini dikarunia putra
yang bernama Ja’far Sadiq atau Sunan Kudus.
Kemudian
satu-satunya wali pribumi adalah Raden Said atau Sunan Kalijaga, putra dari Tumenggung
Wilatikta yang masih keturunan Ronggolawe. Beliau meninggalkan istana dan berguru
kepada Sunan Bonang. Dan beberapa sumber menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga
menikah dengan Dewi Soejinah, putri dari Sayyid Utsman Haji yang tidak lain
adalah saudari Sunan Kudus. Dari pernikahan ini dikarunia keturunan yang diberi
nama Raden Umar Said atau Sunan Muria.
Sedangkan
satu-satunya wali di Jawa Barat adalah Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Padjajaran Raden
Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar
Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Beliau sempat berkelana ke berbagai
negara dan akhirnya mendirikan Kesultanan Cirebon yang juga dikenal dengan
Kesultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati satu-satunya
Walisongo yang memimpin pemerintahan dan memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra
Raja Padjajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon hingga pedalaman
Pasundan.
Para wali
menyebarkan Islam dan mendidik masyarakat dengan strategi yang berbeda-beda.
Pendidikan disampaikan melalui lembaga pendidikan pesantren. Pesantren sebagai
tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pegetahuan keagamaan lebih
tinggi. Pesantren muncul untuk mentransmisikan Islam klasik, karena disitulah
anak-anak muda mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab.
Sebagian
ahli sejarah menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan
yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan pra-Islam yang disebut
Mandala. Mandala telah ada sejak sebelum Majapahit yang berfungsi sebagai pusat
pendidikan semacam sekolah dan keagamaan. Mandala adalah tempat yang dianggap
suci karena sebagai tempat tingga para pendeta atau pertapa yang memberikan
keteladanan hidup masyarakat sekitar.
Lembaga pendidikan pesantren ini memiliki karakteristik tempat yang jauh dari
keramaian, adanya ikatan yang kuat antara guru dan murid, memberikan semangat
untuk selalu belajar dan dalam proses pembelajarannya membentuk halaqah.
Sementara itu, proses interaksi yang dilakukan oleh
Walisongo melalui beberapa pendekatan yaitu: modeling dan substantif.
Pendekatan modeling dengan menokohkan seorang pemimpin yang berkiblat pada
Rasulullah SAW. Pendekatan substantif sebagai pola hubungan antara makhluk
dengan khaliq. Sedangkan sikap yang dibangun dalam pendidikan yaitu dengan
kasih sayang dan tidak diskriminatif. Kurikulum yang diajarakan masih sederhana
dalam kerangka ketauhidan. Media yang digunakan oleh setiap wali berbeda-beda.
Tetapi mempunyai prinsip yang sama bahwa Islam dan tradisi bagaikan dua sisi
mata uang yang saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
Pertama, Maulana
Malik Ibrahim, berdakwah menggunakan pengobatan dan perekonomian dengan
merangkul kasta bawah yang tersisih dari agama Hindu. Beliau menjadi tabib dan
menjadi peletak dasar pengolahan garam. Beliau berdakwah dengan mengambil hati
rakyat sebelum mengajarkan Islam, yang berpusat di pondoknya daerah Leran.
Kedua,
Sunan Ampel, beliau mendirikan pesantren yang menjadi pusat pendidikan agama
Islam yang sangat berpengaruh hingga mancanegara. Ajarannya yang terkenal
adalah falsafah moh limo. Moh Main, tidak mau berjudi. Moh
Ngombe, tidak mau mabuk-mabukan. Moh Maling, tidak mau mencuri.
Moh Madat, tidak menghisap candu, ganja, dll. Moh Madon, tidak mau
berzina. Ketiga, Sunan Giri, beliau menetap dan mendirikan
pesantren di Giri serta mengirimkan santri-santrinya ke seluruh wilayah
Nusantara. Ada yang beranggapan bahwa Sunan Giri dikaruniai ilmu laduni
sehingga kecerdasannya seolah tidak ada bandingnya. Beliau menciptakan
Asmaradana dan Pucung serta tembang-tembang dolanan seperti jamuran,
cublak-cublak suweng, jithungan dan delikan.
Keempat,
Sunan Bonang, beliau mendirikan pesantren di daerah Tuban. Beliau menciptakan
gendhing Dharma, mengganti hari-hari sial dan nama-nama dewa menurut
kepercayaan Hindu. Menggunakan alat musik Bonang dalam melantunkan tembang yang
telah bernapas Islami. Beliau juga menciptakan ilmu suluk. Kelima Sunan
Drajat, beliau mengadopsi cara dakwah ayahnya dan tidak banyak mendekati budaya
lokal. Selain itu beliau juga rajin mencari rezeki dan dermawan kepada rakyat
jelata. Beliau adalah ahli ukir dan menciptakan gending pangkur
Keenam,
Sunan Kudus, beliau merangkul masyarakat setempat dan menghindari konfrontasi
dalam penyebaran Islam. Beliau meruubah adat selamatan mitoni dengan napas
Islam dengan tujuan sedekah, bukan sesembahan. Beliau juga berhasil menarik
perhatian masyarakat untuk mendengar dakwahnya melalui sapi betina. Ketujuh,
Sunan Kalijaga, beliau berdakwah dengan sangat luwes. Beliau seorang yang ahli
budayawan, menciptakan seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan,
wayang kulit, bedug di masjid, grebek maulud, seni tata kota, dll.
Kedelapan,
Sunan Muria, beliau berdakwah dengan tidak menghilangkan tradisi yang ada.
Tetapi memberikan warna dalam balutan napas Islam seperti upacara selamatan.
Beliau menggunakan wayang dan gamelan dalam berdakwah. Beliau menciptakan
tembang Sinom dan Kinanthi. Kesembilan,
Sunan Gunung Jati, beliau berdakwah dengan kecenderungan Timur Tengah yang
lugas. Namun, beliau juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur
berupa jalan-jalan yang menghubungkan antarwilayah. Beliau juga menyerahkan
dengan sukarela wilayah Banten yang menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Tidak
penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik
untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu
(Gus Dur)
[1] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial
dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 145.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum , (Bandung: Rosda,
2003), 7-8.
0 Comments