Menyongsong Anomali Politik 2014



Tahun 2013 yang sebentar lagi ditutup sesungguhnya bagian dari lintasan politik dari akhir pemerintahan SBY. Tahun 2014 sebagai ajang pertarungan para politikus di negeri ini. Rakyat yang percaya demokrasi, berharap tahun 2014 menjadi titik balik elite negara dalam mengonsolidasi demokrasi. Demokrasi kerakyatan, bukan demokrasi kedinastian. Rakyat berharap muncul sosok pemimpin yang membawa negeri ini menjadi lebih maju dan bebas dari para koruptor. Namun, ekspektasi besar rakyat ini ditikam kegamangan kontruksi politik kita. Pada saat nilai-nilai dinasti dan destruktif politik hendak dicabut dari ruang kekuasaan kita untuk diganti dengan nilai-nilai demokratis, justru kita melihat proses pengalihan nilai itu mengalami anomali.

Saling tekan, saling ancam, saling menyalip kepentingan disetiap isu yang berhembus. Begitulah aksi-aksi manuver yang akan terjadi dalam perpolitikan Indonesia di awal tahun 2014. Penggunaan bahasa absurd mengatasnamakan rakyat akan selalu didendangkan oleh para politisi monas tanpa terkecuali politisi daerah. Mereka semua berlomba menuju muara kekuasaan dan coba mempertahankan diri agar tidak terpental dari muara kekuasaan, begitulah politik Indonesia yang telah mendefinisikan dirinya sendiri dalam ruang modifikasi merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Anomali Legislatif
Konsep anomali pada institusi legislatif dapat diartikan sebagai tindakan yang menyimpang dari norma kelembagaan legislatif sebagaimana tertuang dalam ketentuan aturan, hukum maupun toleransi sosial, baik yang bersifat universal maupun spesifik legal Indonesia. Istilah anomali disinonimkan dengan paradox dan antinomy. Paradox merupakan sesuatu yang berlawanan, sedangkan antinomy adalah sesuatu yang contradiction between two laws, principles or conclusions. Perilaku menyimpang pada tingkat yang paling fatal dapat membawa pada apa yang dinamakan situasi anomie, yaitu suatu situasi ketiadaan nilai-nilai umum dalam sebuah masyarakat.

Penyimpangan anggota legislatif dalam konsep anomali dapat dirujuk pada sejumlah ilmuwan yang menyajikan perspektif baru dengan melihat penyimpangan sebagai cerminan upaya penyesuaian diri dalam mengatasi persoalannya, yang ada kalanya berbenturan dengan standar-standar umum. Matza dalam Becoming Deviant, mengupas kontur khusus berbagai perilaku yang dianggap tidak lazim, yang diyakininya merupakan ceminan dari ketidakkonsistenan dalam dinamika sosial.

Norma kelembagaan institusi legislatif secara universal tertuang dalam apa yang disebut tugas dan fungsi, yaitu merespon dan mewujudkan aspirasi masyarakat, menciptakan kebaikan bersama atau kepentingan publik, membawa konflik dalam masyarakat ke dalam sistem politik, berbicara dan mewakili kehendak rakyat serta bertanggung jawab kepada masyarakat atau konstituen. Maka, anomali menjadi relevan untuk diterjemahkan tidak sekedar penyimpangan dari pengertian yang umum atau biasa atas kondisi mayoritas, tetapi lebih luas lagi mencakup penyimpangan terhadap norma yang terjadi pada fungsi-fungsi pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat publik, termasuk wakil rakyat dalam institusi legislatif.

Pemilih Bermartabat
Politik merupakan semangat merajut dan sekaligus mengaktualisasikan nilai-nilai mulia politik. Oleh karena itu, politik tanpa prinsip merupakan ancaman yang mematikan bagi kemaslahatan dan keselamatan umat manusia. Kedudukan dan penggunaan kekuasaan dimana pun ruang lingkupnya harus menyangkut kepentingan orang banyak. Proses politik melalui serentetan fenomena dan peristiwanya pada dasarnya mempunyai hubungan kausalitas. Kekuasaan tersebut didapatkan dengan perjuangan, seperti salah satunya “mengiklankan” dirinya, agar masyarakat memilihnya.

Memang, persoalan riil praktik politik masih jauh dari harapan rakyat. Nilai-nilai luhur politik direduksi oleh kepentingan politik yang sempit. Kepentingan kelompok atau golongan, seringkali mendominasi percaturan kehidupan politik Indonesia. Rakyat apatis dan pesimistis terhadap kondisi ini. Bosan terhadap perilaku politik yang justru bergulat memperjuangkan kepentingannya sendiri, tidak ada ketulusan mengubah keadaan rakyat.

Pemilu sebagai momen mencari dan berjuang untuk kekuasaan dalam pergantian pemerintahan. Tetapi, pemilu hanya sebatas memfasilitasi pergulatan dan perjuangan pencari kekuasaan semata dan menyandera hak-hak kepentingan rakyat banyak. Setelah pemilu usai, kepentingan rakyat dilupakan. Padahal merajut demokrasi politik yang substantif bagi kepentingan rakyat, mestinya simetris dengan pemilu. Rakyat sebagai penyangga keberlangsungan negara mestinya bertahta dalam kehidupan.

Realitas sekarang, rakyat sudah semakin pasif terhadap proses politik yang tidak juga membawa arah perubahan kehidupan dalam segala bidang. Kesadaran untuk merekonstruksi laboratorium pemilu, bukan sekedar  eksperimen yang tanpa makna dan tidak fungsional. Transaksi-transaksi politik demi kekuasaan mestinya dihentikan. Begitu juga pemilih, tidak menggadaikan suaranya hanya dengan iming-iming materi yang diperhalus menjadi pengganti ongkos ke TPS. Maka sesungguhnya realistis apabila para pencari kekuasaan mengembalikan modal utamanya terlebih dahulu. Sehingga menyebabkan elit politik akan melupakan  janji-janjinya. Oleh karena itu, dalam keadaan apapun, etos pemilih tidak menjadi pengemis yang hina, namun justru menjadi pemilih yang bermartabat yang secara terus menerus mengingatkan elit penguasa untuk merealisasikan janji-janjinya.

Post a Comment

0 Comments