Memperingati Hari Kebangkitan Ulama’

Amat disayangkan, umat Islam di masa kini bak buih di lautan, banyak jumlahnya namun tercerai berai. Heran melihat fenomena ini, kita semua tahu bahwa Islam yang dibawa Rasulullah SAW hanya satu macam. Namun mengapa hari ini umat Islam menjadi bermacam-macam? Satu Islam, banyak pemahaman, berbagai pandangan. Demikianlah realitas sejarah perjalanan umat Islam yang pada gilirannya bermuara dan terakumulasi dalam mazhab-mazhab dan sekte-sekte.

Islam sebagai syariat Allah yang abadi di mana substansi keagamaannya terdiri dari tiga hal pokok yang sering dikenal dengan Trilogi Islam yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kebenaran substansi keagamaan ini sebenarnya bisa diukur dengan ukuran baku manakala nafsu manusia tidak ikut intervensi dalam klaim-klaim kebenaran dengan menganggap pendapatnya benar sendiri. Maka perlu memahami konsep pemikiran Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai landasan berpikir, pola ucap dan tingkah laku serta sikap sehari-hari dalam hidup. Menjadi bagian integral dari sistem kenegaraan Indonesia yang relevan seiring berkembangnya zaman. Menyediakan ruang bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam.

Melihat realita dengan kacamata dunia, memang umat Islam bak buih di lautan. Negara-negara yang bernafaskan Islam porak-poranda dan sistem kenegaraannya tidak teratur. Namun apabila kacamata tersebut dipusatkan ke sebuah daerah yang dikenal dengan nama Nusantara, maka umat Islam benar-benar menjadi kekuatan. Tolong-menolong antarsesama, menjalankan roda pemerintahan dan hidup damai sejahtera menjalankan syariat-syariat agama. Islam berdampingan dengan tradisi dan memang benar bahwa tradisi juga yang menjaga nilai-nilai Islam.

Kebenaran bagaikan sebuah pahatan yang tersembunyi dalam batu dan di sana ada Islam dalam tradisi. Dalam batu ada pahatannya, tapi batu ini tidak terpahat dengan sendirinya. Untuk mengeluarkan pahatannya, dia harus dihancurkan. Bagian yang tidak penting harus disingkirkan. Begitu juga Islam yang harus menyesuaikan diri dengan tradisi. Tidak akan menjadi sedemikian besar Islam di Indonesia jika para Wali Songo tidak menyatu dengan tradisi pribumi.

Sengketa tanah perjanjian antara Palestina dan Israel yang tak berujung, Afghanistan yang akrab dengan bom, Somalia yang hancur-lebur dan munculnya kelompok teroris di Irak dan Suriah adalah rentetan konflik yang abadi dalam sejarah dunia. Memang benar bahwa Islam tumbuh dan berkembang di Timur Tengah. Namun, apa yang terjadi di negara-negara tersebut menunjukkan betapa jauh Islam dari esensi utamanaya. Islam bukan seperti apa yang dibawa Rasulullah SAW yang lemah lembut, santun dan indah. Kini kelompok berbendera hitam-putih yang mengatasnamakan Islam, namun tidak mewakili Islam sama sekali, sebagai momok menakutkan, kering, kasar, brutal dan radikal. 

Apabila ditelisik secara seksama, konflik panjang yang terjadi di Timur Tengah merupakan pergulatan konflik politik. Namun semua masalah yang terjadi sebagai akibat dari tidak adanya tradisi yang menjaga Islam dalam kedaulatan Negara. Tidak ada penghormatan kepada ulama dan para wali. Penghormatan kepada pewaris Nabi sangat diperlukan baik yang telah wafat lebih-lebih yang masih hidup. Penghormatan tersebut tentu dengan berbagai cara. Secara umum, merawatnya apabila masih hidup, menziarahi makam dan mendoakannya apabila telah wafat. Tradisi-tradisi inilah yang akan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Tidak akan terjadi pertumpahan darah apabila ulama dan para wali mendapatkan penghormatan sedemikian rupa, dijaga dan tradisinya dilestarikan dengan baik.

Memang masih menjadi kontra bagi sebagian masyarakat menziarahi makam ulama dan para wali. Sebagian kelompok menyamakan dan menganggap makam-makam adalah berhala, sehingga siapa pun yang mendatanginya otomatis menjadi musyrik. Tidak demikian wahai para kelompok yang mengklaim dirinya modern. Tradisi mengunjungi makam ulama dan para wali adalah semata-mata penghormatan kepada beliau-beliau yang telah mendahului. Kalau pun tidak setuju dengan tradisi-tradisi ini, maka jangan sekali-kali mencemooh dan berlaku kasar terhadap orang-orang yang melestarikannya.

Bagi orang-orang yang melestarikan tradisi, sebuah keniscayaan bertemu dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang menolak tradisi. Menyikapi celotehan mereka tidak perlu menggunakan kekerasan. Yang perlu diingat bahwa Islam tidak besar karena pedang, tetapi karena halusnya budi pekerti Rasulullah SAW. Kekerasan sebagai cara orang bodoh yang tidak memahami sejarah. Orang yang tidak mengetahui sejarah akan tenggelam dari peradaban, baik secara pikiran maupun secara fisik. Waktu yang akan membuktikan bahwa tradisi dan Islam berjalan berdampingan. Mereka yang menolak tradisi akan merasakan kekeringan dalam beragama dan menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

Solusinya berpikir dan berjiwa besar terhadap setiap masalah. Sebagai manusia modern, tradisi tidak boleh dipandang secara sempit. Dalam sudut pandang sejarah, mempelajari sejarah masa lalu akan semakin meningkatkan rasa cinta terhadap apa yang dipelajari. Setali tiga uang dengan apa yang terjadi di Indonesia. Mengunjungi makam ulama dan para wali secara tidak langsung berarti mempelajari sejarahnya. Mengambil pelajaran terhadap perjuangannya di masa lalu untuk dijadikan suri tauladan di masa kini. Maka tidak berlebihan apabila adanya makam ulama dan para wali sebagai pemersatu bangsa dan dasar kesejahteraan sebuah negara.

Terlepas dari semua itu, sebenarnya Indonesia sebagai blue print masyarakat kota Madinah pada zaman Rasulullah SAW. Beraneka ragam suku, ras dan agama yang hidup rukun berdampingan,  tidak menggembor-gemborkan negara Islam. Perilaku menyuarakan negara Islam akan menjadi boomerang bagi umat Islam sendiri, apalagi dibarengi dengan cara dakwah yang memakai kekerasan. Rasulullah memiliki budi pekerti yang santun, tidak pernah sekali pun mencontohkan kekerasan dalam hidupnya.

 Memang benar jejak Islam bisa ditelusuri secara lengkap di Timur Tengah. Namun, tentang bagaimana berorganisasi menciptakan masyarakat madani, maka dunia harus belajar di Indonesia. Dunia harus belajar pada Nahdhatul Ulama’. Merdeka Indonesia, Jayalah NU…!!!

Post a Comment

0 Comments