Kesejukan udara
pagi sayup-sayup mengantarkan sepasang bola mata berpetualang. Mengarungi pulau
awan, yang tidak seharusnya dijelajahi dikala terbitnya sang surya. Gelap,
hari-harinya tidak akan secerah sinar mentari. Hanya kebaikan-kebaikan yang
mampu menghapus kemurungan, kegundahan, dan kegelapan hati. Mengantarkan
jiwa-jiwa terjajah menuju kebebasan hidup.
Dari beratus-ratus
santri yang ada, hanya satu orang yang menurut saya bebas dan benar-benar
merdeka terhadap dirinya sendiri. Bagaimana tidak, halaman yang begitu luasnya
selalu bersih dengan kesungguhan niatnya setiap pagi dan yang menjadi nilai
plus yang tak ternilai harganya yaitu dia senantiasa mengumandangkan azan
subuh. Betapa Tuhan telah menciptakan makhluk yang luar biasa di tengah-tengah
riuhnya kontestasi dan tipu muslihat antarmanusia.
Dalam hati ingin sekali
menirunya, tapi apa daya, pencipta tentu berbeda dengan yang diciptakannya.
Entah apa yang terjadi pagi ini, waktu seakan terbuang sia-sia. Tanpa karya dan
miskin usaha dalam menempa diri. Baru setelah lingsirnya matahari, kaki ini
beranjak dari kawah candradimuka. Bergeser menyelesaikan urusan guna
mempertahankan diri dalam kerasnya kehidupan Metropolitan.
Pemandangan kota
Metropolitan tak lepas dari barisan gedung bertingkat menjulang tinggi mencakar
langit. Kemacetan di sana-sini juga menjadi hal biasa. Udara penuh asap dengan
panasnya terik matahari cukup menyita kesabaran. Klakson dari kendaraan
bermotor tak lupa sahut-menyahut seakan saling menyapa. Begitulah kondisi
jalanan yang mengantarkanku hingga sampai Rumah Bahasa Surabaya di Jalan
Gubernur Suryo, tepatnya di kompleks Balai Pemuda.
Kunjungan saya
bertepatan dengan kedatangan duta besar Korea Selatan. Mereka disambut bak raja
sejagat. Sebagai tuan rumah saya sangat bangga dengan konsep sambutan yang
telah didesain panitia sedemikian rupa. Tari Remo sebagai budaya asli Surabaya
ditampilkan dengan penuh percaya diri dan sangat menarik. Tapi para duta besar
yang hadir menggunakan pakaian yang tidak menghormati budaya ketimuran yang
tertutup. Okelah, kita maklumi saja. Anggap adat istiadat dan etika mereka
tidak lebih baik dari kita. Mereka mengunjungi perpustakaan, melihat-lihat
koleksi buku dan Korea Corner yang secara khusus menampilkan budaya dan adat
Korea. Pertanyaannya tidak adakah tempat untuk budaya Nusatara?
Tujuan utama saya
datang ke Rumah Bahasa Surabaya untuk mengikuti kelas bahasa Jerman. Kelas
bahasa Jerman yang kedua kalinya saya ikuti memberikan harapan besar terhadap
impian masa depan. Sebagai bekal untuk mendalaminya di negara asal. Beberapa
materi pun tidak asing bagi saya, cukup sebagai penguat ingatan masa lalu
ketika awal mula berinteraksi dengan bahasa Jerman. Setiap peserta pun
partisipatif hingga tak terasa azan maghrib berkumandang. Kelas pun segera
dibubarkan untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat Muslim. Menjelang
dimulainya ibadah, saya bertemu dengan teman lama ketika belajar bahasa
mandarin.
Gemerlap cahaya
berada di setiap sudut kota Metropolitan. Berkedip secara periodik yang membuat
bangunan-bangunan megah tampak semakin cantik. Sorot cahaya kendaraan bermotor
menambah kemeriahan malam. Sepanjang jalan seakan tidak ada ruang kosong untuk
kegelapan. Hingga sampai di lapangan Kodam V Brawijaya, gemerlap cahaya
disambut oleh aneka permainan dan stan-stan para penjual. Sepotong kain dan
ikat pinggang sebagai tujuan saya ke tempat ini. Mengingat baju yang telah
rusak akibat sebuah insiden dan telah lapuknya kondisi ikat pinggang yang
seingat saya dibeli ketika baru masuk aliyah.
Tidak ada yang
lebih baik selain memanfaatkan waktu semaksimal mungkin dan menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya. Kebebasan dan kedaulatan diri berjalan beriringan dan membentuk
sebuah jalan hidup yang akan semakin memperjelas identitas setiap manusia di
muka bumi.
0 Comments