Kemungkinan
terbesar
adalah memperbesar
kemungkinan
pada ruang
ketidakmungkinan
(Barisan
Nisan)
A. Paradigma
Paradigma merupakan sesuatu yang vital bagi
pergerakan organisasi. Karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun
konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan
termanifestasikan dalam sikap dan prilaku social. Disamping itu, dengan
paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai
yang universal,abstrak menjadi khusus dan praksis operasional yang akhirnya
menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seseorang.
Paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kun, seorang ahli Fisika Teoritik. Namun Khun sendiri
tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Kemudian dirumuskan
oleh Masterman paradigma sebagai pandangan mendasar dari suatu ilmu yang
menjadi pokok persoalan yang dipelajari. Sedangkan George Ritzer memberikan pengertian paradigma sebagai pandangan fundamental tentang apa yang menjadi
pokok persoalan dalam ilmu. Paradigma membantu apa yang
harus dipelajari, pertanyaan yang harus dijawab, bagaimana semestinya
pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam
menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Dari beberapa pengertian diatas, paradigma
dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun
sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial
dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari
paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial
yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan
saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa:
Setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional
terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme
fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif,
pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum
kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara
konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan
kenyataan bahwa: Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan.
Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner. Dalam jangka panjang
sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious
circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi
instrument perubahan.
3. Plural Paradigm (Paradigma Plural)
Dari kontras
atau perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut
melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural.
Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan
memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan
realitas sosial yang ada disekitarnya.
Ketiga paradigma di atas merupakan
pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori
sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara
paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar
pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok
yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas.
Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya
tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang
lain. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma
kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan
terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
1. Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan
politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya
untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik, dominatif, dan
eksploitatif.
2. Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik
pada level nasional maupun internasional.
3. Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology”
baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar
logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar
wacana.
4. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran
palsu di masyarakat.
5. Analisis kesejarahan yang menelusuri
dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, actor-aktor sejarah
baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu
masyarakat.
B. Kritis
Apa sebenarnya makna “Kritis”?
Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/ tegas dan teliti dalam
menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis
adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap
realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari
Madzhab Frankfurt. Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis
dengan empat hal:
1.
Berpikir dalam
totalitas (dialektis)
2.
Berpikir
empiris-historis
3.
Berpikir dalam
kesatuan teori dan praksis
4.
Berpikir dalam
realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Ada 4 filosof barat yang di
gunakan untuk melihat bagaimana pemikiran teori kritis berkembang yaitu,
Socrates, Immanuel Kant, Georg Hegel, dan Karl Max.
1. Socrates
Pemikiran awal
kritis sebenarnya sudah dimulai pada zaman Yunani kuno. Pemikiran kritis ini
pertama kali di populerkan oleh Socrates dengan metode socratesnya. Metode ini
merupakan suatu cara berpikir dimana untuk memulai suatu diskursus diawali
sebuah pertanyaan. Metode ini merupakan suatu metode untuk membangun diskusi
yang komperhensif yang saling membantu dalam membangun suatu pengertian
terhadap suatu persoalan. Metode ini yang diperkenalkan Socrates dalam bidang
pendidikan. Dan dengan metode Socrates inilah bias dikatakan menjadi awal atau
basis dari permulaan teori kritis karena metode ini menitikberatkan kepada
kedua pihak yang sedang berdiskusi. Dari metode inilah akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan
yang sangat berperan dalam teori kritis.
2. Immanuel Kant
Immanuel Kant
melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif
sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Artinya
manusia sebagai subjek tidak dapat menangkap realitas sebenarnya dari suatu
objek. Kant menyatakan bahwa sebenarnya yang di tangkap oleh manusia terhadap
suatu objek hanyalah suatu fenomena. Yang bukan sebenarnya dari realitas objek
tersebut yang disebutkan sebagai noumena. Hal ini menurut kant sangat
bergantung dari persepsi yang terdapat dalam pikiran manusia tersebut. Dan
manusia tersebut dalam membuat persepsinya sangat dipengaruhi oleh
kategori-kategori dalam menilai suatu objek yang dipersepsikan.
3.
George Hegel
Selain Kant,
pemikir lain yang mencoba mengembangkan teori kritis adalah Georg Hegel. Hegel
mencoba mengkritik pemikiran Kant. Dia berpendapat bahwa kant dalam meletakkan
rasio kritisnya tidak mengenal waktu, netral, dan ahistoris. Dia juga mengemukakan
pendapat bahwa rasio menjadi kritis apabila ia menyadari asal usul
pembentukannya sendiri. Rasio menjadi kritis apabila dihadapkan dengan suatu
rintangan.. Dengan kata lain, rasio rasio kritis menurut Hegel yaitu rasio yang
sudah melalui refleksi atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan
kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukannya. Dalam teori ini
Hegel menyimpulkan bahwa pertentangan antara tesis dan anti-tesis akan
menghasilkan sebuah sintesis yang semakin lama apabila terus dipertentangkan
akan menjadi sebuah kebenaran yang absolut.
4. Karl Marx
Berbeda dengan
Hegel, Karl Marx justru mengembangkan dialektikanya Hegel dalam konteks social
politik. Dimana menurut Marx konsep Dialektika Hegelian dipandang terlalu
idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan
serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam
masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi
masyarakat). Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri
dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat.
Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari
alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan dalam
masyarakat. Teori ini juga didasari engan analogi basis suprastruktur dan kelas
masyarakat yang akhirnya memunculkan suatu konsep sosialisme ilmiah.
C. Transformatif
Dalam perspektif Transformatif dianut
epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan
pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah;
entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak
yang dilakukan secara bersama-sama.
Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan
gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat.
Model-model transformasi yang bisa
dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
1. Transformasi dari Elitisme ke
Populisme
Dalam model
tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan
gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal
isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang
digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan
kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu
menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak
mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang
dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis.
2. Transformasi dari Negara ke
Masyarakat
Model
tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian
kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx
terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute
yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya.
Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang
paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam
satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah
yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi
ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk
terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau
Negara.
3. Transformasi dari Struktur ke
Kultur
Bentuk
transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal
ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa
kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang
dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat
desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan
pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling
mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya
benturan sosial di lapangan.
4. Transformasi dari Individu ke
Massa
Model
transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam
disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya
hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang
jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan
Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya
setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam
menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun
(ipoleksosbudhankam).
D. Dasar Pemikiran Paradigma Kritis
Transformatif PMII
Dari pemaparan di atas paradigma
kritis, terlihat bahwa paradigma kritis sepenuhnya merupakan proses pemikiran
manusia. Dengan demikian ia adalah secular. Kenyataan ini yang membuat PMII
dilematis, karena akan mendapat tuduhan secular jika pola pikir tersebut
diberlakukan. Untuk menghindari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya
reformulasi penerapan paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis
transformatif diberlakukan hanya sebatas sebagai kerangka bepikir dan metode
analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya ia harus diletakkan pada
posisi tidak diluar dari ketentuan agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan
dan menfungsikan ajaran agama yang sesungguhnya sebagaimana mestinya. Dalam hal
ini penerapan paradigma kritis transformatif bukan menyentuh pada hal-hal yang
sifatnya sacral, tetapi pada persoalan yang profan. Lewat paradigma kritis di
PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam berkehidupan dengan menjadikan
ajaran agama sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
“Berpikir Kritis & Bertindak
Tansformatif” itulah jargon PMII dalam setiap membaca tafsir sosial yang sedang
terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII
harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan
mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa
terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah:
1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang
terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, di mana kesadaran masyarakat
dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola
berpikir positivistik modernisme.
2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural,
beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya
pluralitas society).
3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang
represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan
menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo).
4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya
agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi
penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan.
Beberapa alasan mengenai mengapa
PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam
menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT
mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan
masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll)
secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community
(komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang
diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis,
Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan
Praktisi Pendidikan yang Transformatif.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment