Hal yang paling membahagiakan dalam hidup ini
ialah ketika orang lain mampu menemukan jati diri sehingga mampu berprestasi
dan menghasilkan sebuah karya. Sahabat yang memberikan saran dalam membuat
keputusan itu tentu orang yang paling bahagia ketika mendengar, melihat dan
menyaksikan teman sharing-nya mampu melakukan banyak hal. Terlepas apa
peran kita dalam hal itu. Kita tentu lebih baik untuk tidak mengaku dan
menjauhkan pengakuan itu dalam diri sejauh-jauhnya. Meletakkan hal itu dalam
keranjang sampah.
Dalam perjalanan mengukir sejarah, tentu
setiap orang menginginkan hal terbaik untuk dirinya. Tetapi dalam mengusahakan
dalam proses ukiran tersebut, banyak orang yang menafikan bagaimana kondisi
lingkungan yang sedang atau akan terjadi. Seperti halnya ketika di tanah suci,
mencium hajar aswad adalah kesunnahan dan keinginan setiap jamaah, tetapi
ketika dalam proses mencapai keinginan tersebut tidak melakukan hal terbaik
untuk sekelilingnya, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Sama halnya dalam
proses untuk menggapai cita-cita, tidak dibenarkan jika tanpa melakukan hal
terbaik terhadap orang-orang disekitarnya. Bisakah kita maju tanpa
menyingkirkan orang lain? Mampukah kita
naik tanpa menjatuhkan orang lain? Dan bukankah lebih baik berbahagia tanpa
menyakiti orang lain?
Tentu hal dasar yang harus dilakukan sebelum
melakukan banyak hal ialah melakukan koreksi terhadap diri sendiri. Orang yang
mampu memberikan banyak hal adalah mereka yang telah menuntaskan dirinya
sendiri. Kita harus benar-benar menjadi orang merdeka sebelum memerdekakan
banyak orang. Merdeka secara jasmani dan rohani. Memastikan tidak ada
penindasan dalam diri. Penindasan dasar yang harus diwaspadai adalah penindasan
waktu dan pikiran. Waktu dengan komandan kemalasan dan pikiran dengan komandan
“cinta”.
Maju tanpa menyingkirkan orang lain akan
terwujud apabila orientasi kita adalah waktu, bukan popularitas, jabatan atau
kekayaan. Kunci kesuksesan – nonmaterial – adalah bagaimana seseorang
memanfaatkan waktu semaksimal mungkin. Tidak ada waktu sedetik pun untuk
melakukan hal-hal syubhat, apalagi sampai ke yang haram Na’udzubillah. Sementara
itu kemerdekaan pikiran juga harus kita perjuangkan. Menjadi manusia bebas
dengan batasan tidak mengganggu kebebasan orang lain. Melakukan berbagai hal
tanpa pengaruh dari orang lain, tentu sesuai dengan norma.
Dalam bingkai pemuda, banyak orang yang
terperangkap dan terpenjara pikirannya dalam pemaknaan cinta. Memang cinta
adalah salah satu pilar atau dasar kebenaran, tetapi pemaknaan cinta
kontemporer jauh seperti yang diharapkan. Alih-alih menjadi pilar kebenaran,
cinta dalam konteks kekinian adalah sumber dari keharaman. Bukan berarti cinta
itu hal yang harus diingkari, tetapi bagaimana mengembalikan pemaknaan cinta
menjadi pilar kebenaran. Sebagai dasar prinsip orang merdeka. Tanpa cinta hidup
bagaikan berjalan di kebun yang tak berbunga, gersang dan tanpa keindahan. Maka
seorang yang cerdas ketika membangun istana cinta akan bersumpah kepada dirinya
sendiri. Tidak akan menyentuh secara sengaja sesuatu yang dicintainya itu,
sebelum ada ikatan suci yang menjadikannya satu. Jika sumpah itu dilanggar,
itulah tanda perpisahan di antara mereka, kecuali jika Tuhan mempersatukannya
kembali dalam cinta yang sesungguhnya.
Dalam memperjuangkan semua itu, hal yang
harus dihindari adalah purbasangka. Keragu-raguan harus tetap ada untuk
memperoleh esensi, apa yang sebenarnya. Cara yang terbaik adalah komunikasi.
Semuanya akan tergambar dalam proses komunikasi. Maka budaya ngopi selayaknya
dibudidayakan, sebagai perilaku sila keempat Pancasila. Membentuk generi muda
yang siap berjuang dan berkarya untuk Negeri.
Surabaya, 14 April 2015
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment