Menyeramkan,
nekat, tapi bodoh. Agaknya seperti itulah mungkin pandangan barat terhadap kita
kaum muslimin yang harus kita rubah. Alih-alih menjadikan Islam sebagai rahmat
bagi alam semesta, Islam malah dijadikan kendaraan bagi terorisme di muka bumi.
Dengan alasan kecintaan terhadap Islam, seakan-akan mereka menghalalkan segala
cara untuk mengekspresikannya. Kelompok-kelompok Islam radikal ini berhasil
mencitrakan Islam sebagai agama teroris yang keji dan tidak berperikemanusiaan.
Padahal, Rasulullah SAW memiliki banyak pengikut itu karena mengajarkan bahwa
Islam merupakan agama yang santun, baik, dan penuh toleransi, bukan agama
kekerasan.
Salah
satu kelompok teroris berkedok Islam yang tengah dalam sorotan tajam saat ini
adalah ISIS. ISIS merupakan pengikut kaum Khawarij, yaitu kelompok yang suka
mengkafirkan orang lain dan menggunakan kekerasan yang memang dari dulu begitu
lihainya dalam membuat propaganda manis sehingga banyak orang yang terbujuk.
Jika dulu mereka hanya bisa menyampaikan pandangannya melalui forum-forum
diskusi, kini mereka mampu melakukannya lewat media sosial yang menjangkau
seluruh dunia.
Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkirakan lebih dari 500 orang
warga negara Indonesia telah bergabung dengan ISIS. Selain karena memiliki
kesamaan ideologi, ditengarai motif ekonomi menjadi salah satu alasan yang
sangat kuat mengapa banyak warga negara Indonesia ikut bergabung dengan
jaringan teroris ISIS. Menurut ketua umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj dengan
bergabung dengan ISIS seseorang akan digaji antara 15 hingga 40 juta rupiah.
Angka ini terbilang cukup fantastis mengingat rata-rata UMR di Indonesia yang
saat ini ada di kisaran Rp 2.100.000,00 sampai Rp 2.500.000,00. Terlebih dengan
kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok yang membuat rakyat harus semakin jeli
memutar otak, membuat Indonesia menjadi lahan basah bagi jaringan teroris untuk
memperluas jaringannya. Hal ini tentu cukup memprihatinkan bagi kita, betapa
aqidah yang harusnya kita pertahankan mati-matian malah dengan mudahnya dijual
untuk kepentingan duniawi.
Berakhirnya
era Imam Samudra, Amrozi, Muklas, dkk ternyata bukanlah akhir dari cerita
terorisme di Indonesia. Sama seperti korupsi, kejahatan-kejahatan semacam ini
dimotori oleh suatu system. Ketika satu orang berhasil “dihabisi”, masih ada
system yang bekerja dibelakangnya yang bisa dengan mudah melengkapi kembali
suatu bagian dari system yang hilang lantaran berhasil “dihabisi” tersebut.
Persis seperti mencari pengganti potongan puzzle yang hilang. Menggeloranya
ISIS saat ini seakan menjadi angin segar bagi
mereka. Mereka seperti mendapatkan momentum untuk memulai perjuangan
yang mereka anggap sebagai jihad tersebut kembali setelah cukup lama vakum
pasca kehilangan tokoh-tokoh utama seperti Imam Samudra, Dr. Azhari, dll.
Dengan
alasan yang sama yaitu radikalisme, Indonesia sebagai negara berada dalam sudut
yang terancam oleh perpecahan. Indonesia adalah bangsa yang dipenuhi beragam
budaya. Budaya adalah hasil olah pikir otak manusia. Sementara itu, interpretasi
seorang manusia dengan manusia yang lain terhadap suatu objek tertentu mungkin
saja berbeda. Maka dari itu, tidak mengherankan jika di Indonesia terdapat
berbagai macam aliran atau organisasi walaupun hanya dalam satu agama. Sebagai
contoh saja untuk organisasi Islam di Indonesia kita mengenal ada Nahdlatul
Ulama’, Muhammadiyah, Hizbut tahrir, Ikhwanul muslimin, LDII, dan sebagainya.
Akan tetapi yang amat kita sayangkan adalah dengan mengatasnamakan kecintaan
dan fanatisme terhadap Islam beberapa dari organisasi tersebut satu sama lain
saling mengkafirkan. Bahkan dialog lintas agama semacam dialog Dr. Zakir Naik
vs William Campbell pun seakan sudah tergeser oleh dialog-dialog yang
mengandung perdebatan seperti bagaimana sikap jari telunjuk saat tahiyat,
bagaimana hukum qunut, bagaimana hokum tahlil dan sholawat, dsb. Menurut Emha
Ainun Nadjib atau lebih akrab kita panggil Cak Nun, kita tidak bisa menganggap
seseorang melakukan suatu hal yang bisa kita anggap syirik ataupun bid’ah
karena pada dasarnya letak syirik itu ada di niat yang ada di dalam hatinya.
Dan kita tidak pernah tahu niat apa yang ada dalam hatinya. “Jadi, ndak
bisa terjadi logika yang bisa diterima bahwa sesama manusia mengkafirkan atau
mensyirikkan.”, begitu pungkasnya.
Sejarah
perpecahan ini tidak sepatutnya kita langgengkan karena hanya akan menimbulkan
pelemahan pada diri umat Islam. Perbedaan ini harus kita sikapi lebih arif.
Kendati Islam kita terbentuk secara global, ia tidaklah linear. Islam Indonesia
haruslah dipahami sebagai sesuatu yang dinamis, tentunya juga dengan
mempertimbangkan beberapa hal. Ia tidak bisa kita bela sebagai Islamnya
nahdliyyin, Islamnya muhammadiyyin, dan seterusnya tapi pada saat yang sama
kita berhenti mempelajari warisan klasik mahakaya dan enggan untuk mencari hal
baru yang membuat khazanah kita, budaya kita, wawasan politik dan ekonomi kita
menjadi lebih kaya dan menarik.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment