Lingsiiir wengiii . . . Lingsir wengi . . . Sepi durung bisa nendra . .
. Kagodha mring mewayang. Kang ngreridhu ati. Kawitane. Mung sembrono njur
kulina. Ra ngira yen bakal nuwuhke tresna. Nanging duh tibane aku dewe kang
nemahi. Nandang bronto kadung loro. Sambat-sambat sapa rina wengi. Sing tak
puji aja lali janjine uga bisa tak ugemi.
Malam ini para
Punakawan sengaja kumpul, menikmati padhang mbulan di pelataran kampung
Nusantara. Namun, Gareng dan Petruk tiba-tiba ketakutan ketika Semar
melantunkan syi’ir Lingsir Wengi. Sedangkan
Bagong bersikap biasa saja, telihat lebih tenang.
Loh . . . loh . . . loh . . . Bukannya Lingsir Wengi itu syi’ir
karya Kanjeng Sunan Kalijaga yoo? Hla kok, kenapa Gareng
dan Petruk ketakutan?
Bagong yang
ahli berbagai bahasa kemudian menerjemahkan syi’ir itu dengan bahasa lain,
bahasa yang mempersatukan bangsa-bangsa dari Sabang sampai Merauke.
Saat menjelang tengah malam. Sepi tidak bisa tidur. Tergoda bayanganmu.
Di dalam hatiku. Permulaannya. Hanya bercanda kemudian terjadi. Tidak mengira
akan jadi cinta. Kalau sudah saatnya akan terjadi pada diriku. Menjadi jatuh
cinta. Aku harus mengeluh kepada siapa. Siang dan malam. Yang saya cinta jangan
lupakanku. Janjinya kuharap tak diingkari.
Gareng dan
Petruk terkena virus transnasional ho . . . ho . . . ho . . . Syi’ir yang
begitu indah dianggapnya sebagai mantra memanggil kuntilanak. Wah . . . wah . .
. waaaah. Sama sperti agama. Agama yang mengajarkan kedamaian disalahgunakan
sebagai alat politik, berbuat anarkis, dan terkesan kaku.
Orang-orang
Nusantara sangat santun, luwes dan baik. Menerima apapun yang lebih baik yang
datang dari luar, dengan tidak meninggalkan budaya lama yang masih baik. Maka,
wayang adalah salah satu wujud akulturasi budaya local dan budaya asing yang
berkolaborasi secara harmonis.
Dialog dua
kebudayaan yang menciptakan sebuah kebudayaan baru. Jika ada kebudayaan yang
lain yang ingin berdialog, maka sangat diapresiasi. Tentu dengan cara yang
baik, bukan dengan cara anarkis, teriak-teriak, mengharam-haramkan juga tak
perlu membid’ah-bid’ahkan apalagi sampai mengafir-kafirkan. Seperti anak kecil yang
bisanya cuma merengek-rengek agar keinginannya dipenuhi. So, jika bertemu dengan
orang atau golongan seperti itu, jangan mudah terpancing. Anggap saja anak
kecil yang tidak tahu apa-apa dan belum mengetahui kearifan budaya Nusantara.
Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu. Banyak kelompok-kelompok transnasional yang
berusaha mengusik dan menghancurkan kedamaian Nusantara. Menjauhkan orang-orang
Nusantara dari asal-usul jati dirinya. Sama seperti usaha kaum kafir yang
mnyebarkan anggapan bahwa Islam adalah agama kekerasan. Berhati-hatilah, kawan!
Di tahun Ayam
ini, perdebatan tentang suara ayam tidak perlu dilanjutkan. Tidak ada yang benar
dari berbagai argumentasi. Kukuruyuk, kongkorongkong atau
apala-apalah. Yang paling benar adalah suara ayam itu sendiri. Serumit apapun
permasalahan berbangsa dan bernegara serta beragama, janganlah menyebar
kebencian, bertikai, apalagi berbuat kerusakan. Karena yang paling benar adalah
Yang Membuat Hidup. Manusia hanya bisa berusaha.
Hmmmmm,
walaupun sudah begitu, perdebatan masih saja terjadi di mana-mana. Untuk
menjadi pemimpin, harus bisa berdebat. Setelah menjadi pemimpin, harus siap
didebat. Kalau dirasa-rasakan, keahlian berdebat tidak membawa faedah apapun
dalam kepemimpinan. Hanya akan membawa kesengsaraan. Ho…ho…ho…
Yang terpenting
bagi seorang pemimpin adalah tahu diri. Seperti rektor UII itu loooh! Walaupun bukan
beliau yang melakukan kekerasan, rela mengundurkan diri karena merasa
bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Oke deh Pak! Apa pun minumannya, makanannya tetap
lauk ikan tongkol. Eh tongkol . . .! Tongkol euy, bukan kon . . . . wkwkwkwkwkwk
No comments:
Post a Comment