Bagi kakak para Pandawa, Bung Karna, ajining raga saka busana. Kehormatan fisik dari pakaiannya.
Terbukti banyak orang berebut pakaian. Penjual pakaian dengan berbagai branding juga sangat menjamur di pasar-pasar modern bernama market. Bahasa gaulnya mall, atau
biar nggak dibilang jadul sama
Insinyur Tedjo, musti pakai super,
supermarket. Hare gene gitu loh! Sekarang
zamannya super, superdamai. Oleh karena itu, kita pun katanya jadi gaul kalau
mainnya di supermarket.
Eh...eh... usut punya usut, acara superdamai juga ada bau-bau rebutan
busana loh. Busana DKI Jakarta. Ops! Entahlah. Kesaktian shaolin diuji
dengan berbagai jurus pencak silat. Siapa yang menang? Kita serahkan
permasalahan ini kepada wasit ae yoo.
Katanya biar dibilang bangsa yang beradab, super-beradab. He...he...he... Apa-apa ya harus pakai wasit dan pengadilan, eh si super jangan dilupakan.
Hmmmm...aneh...Siapa yang aneh? Cak Nun, nggak mementingkan busana. Hla,
kok bisa? Cak Nun lebih mementingkan isi BH dari pada BH itu sendiri. Kalau
dipikir-pikir benar juga ya. Ha...ha...ha....Ah,
itu kan Cak Nun. Nyatanya masih banyak yang rebutan busana. Hla, BH itu tergolong pakaian atau
pelindung hayooo?!?!?!
Kuy...kuy...kuy...ke rumahnya Bang Arjuna kuy!
Bagi Bang Arjuna, ajining
diri saka lathi. Kehormatan diri dari lidah. Ketangkasan dalam berbicara
atau kewaspadaan dalam berkata menentukan kehormatan seseorang. Kalau bukan
karena lidah yang tak henti-hentinya menikmati al-maidah, kata damai, market,
man, nggak akan jadi jadul tanpa tambahan super, kan?
Banyak orang ngaji, hafal Al-Qur’an dan hadis, sinau
tafsir, yoo ben disebut ustad,
ceramah setiap hari, undangan di mana-mana, tapi korupsi? Menteri Agama menjadi
tersangka kasus korupsi. Wah...wah...wah...hmmmm.
Eh, jadul itu bro. Oh iya ya.
Beda lagi sama mahasiswa, pacakane
kaya Arjuna. Belajar tanpa ketakutan dan kepura-puraan. Yang dicari
keunggulan dan keahlian di bidangnya, bukan ijazah atau sekedar bisa cas cis cus, pinter debat tapi nol
karya. Semboyannya talk less do more
atau talk last do first. Benar kan
itu mahasiswa? Makhluk super saat kuliah, tapi kebingungan setelah wisuda.
Gawat...darurat....Indonesia pecah. Gonjang-ganjing. Lebih
berbahaya dari gonjang-ganjinge tanah rencong. Bukan karena polisi yang salah
sangka, menarik bendera negera asal pemain asing Persipura yang merayakan
kegembiraan setelah menjuarai turnamen kopi. Dikiranya bendera kelompok
separatis. Sabar pak polisiiiii! Hormaaat grak!
Tapi anehnya kok semakin banyak
insiden bendera merah yaaa? Semacam ada pembiaran dari pemerintah, apa
pemerintahnya yang sudah jadiiiiii.....
Teror bulan Desember. Aksi sweeping
pakaian non-muslim oleh pasukan pengawal fatwa. Karepe umat muslim tidak boleh memakai busana non-muslim. Akhirnya Kangmas Jokowi memanggil Dhimas Tito Karnavian, karena anggotanya
ada yang menggunakan fatwa sebagai dasar hukum untuk bertindak, dijadikan
sebagai hukum positif.
Lha..dalaaah... apa
hukum positif itu?
Kuy...kuy...kuy...ke markasnya Dhimas Tito Karnavian! Pasti paham masalah hukum positif.
Tapi, Dhimas Tito
Karnavian kan lagi sibuk.
Sibuk nyapo to?
Sibuk mengamankan persiapan perayaan Natal atau sibuk mencari
peneror laser kiper Thailand di leg pertama final AFF Suzuki Cup 2016 di
stadion Pakansari lalu?
Di negeri antah berantah sudah banyak terjadi aksi teror. Paman
Adolf Hitler pekarangan rumahnya sudah porak-poranda akibat terorisme. Beda
lagi di teras rumahnya Sultan Muhammad Al-Fatih, terjadi penembakan Duta Besar
Rusia. Oh, Rusia! Bukannya Rusia itu negara yang tergabung dan terlibat
perseteruan di konflik Suriah? Loh, iyo ta?
Cerita lain di Nusantara, serem tapi lucu. Aksi penangkapan
teroris malah jadi tontonan. Itu bom, bukan bakso granat loh. Bom panci seberat tiga kilogram yang diperkirakan daya ledaknya
bisa mengalahkan bom berteknologi tinggi buatan Paman Sam dan Masha and the bear.
Teror juga dialami Mas Kurnia Meiga. Teror kepercayaan. Tapi teror
itu tidak cukup ampuh untuk membunuh karakter bermainnya. Buktinya? Mas Kurnia
Meiga jadi kiper terbaik selama turnamen Piala AFF Suzuki Cup 2016 kemarin looooo.
Hmmmmm..... Dhimas Tito sibuk.
Terus tanya siapa?
Pye, kalau tanya Kangmas
Jokowi?
Oh, iya! Tapi bukannya Kangmas
Jokowi ngurus pesawat hercules TNI
yang jatuh di Wamena ya?
Hah! TNI lawan Hercules?
Bukaaaaaan! Anggota TNI yang mengendarai pesawat hercules nabrak salah satu gunung di wilayah
Wamena.
Haaaaaaaa?!?!?!?!?!!!
Lha terus tanya siapa?
Kan masih ada wakil rakyat, mereka pasti tahu. Kalau nggak tahu, buat apa mewakili kita?!
Kalau sekedar tidur ketika rapat, jalan-jalan ke luar negeri, mengulur waktu
biar dapat anggaran lebih, kita yang nggak
kuliah juga bisa.
Merasa bersalah, Rama Ma’ruf Amin mengunjungi keponakannya, Dhimas Tito Karnavian. Meninjau kembali
fatwa yang telah dikeluarkan dan membahas aksi sweeping yang telah dilakukan sekelompok orang. Menindak tegas
siapa saja yang melakukan kekerasan.
Hlaaa, terus?
Lebih penting mana, busana apa isinya? Busana yang mempengaruhi
iman atau iman yang mempengaruhi busana?
Ingat! Tidak semua orang bisa memahami dirinya sendiri, tapi
banyak orang yang berusaha mempengaruhi orang lain untuk mengikuti dirinya.
Contohnya yaaa Kanjeng Dimas Taat
Pribadi
Jaman edan. Banyak orang pamer kesaktian, tapi tidak peduli dengan benar
atau salah, yang penting bisa selfie.
Lantas mana yang lebih sakti, Bung Karna atau Bang Arjuna? Hayoooo pilih manaaaa.......
***
Demikian dialog Kang Tris dengan dirinya sendiri. Bekal batinnya
sudah cukup mengimbangi fisiknya yang renta tetapi masih kuat membelah bukit
Warung Penceng, menggembala kambing. Seringnya menyaksikan pemberitaan aksi
teror dan penangkapan terduga teroris, cukup membuatnya hati-hati dengan orang
asing. Juga lembaga asing berlabel pribumi, berteriak asing kepada lembaga
asing. Asing teriak asing, hmmmmmm.....
Pagi yang cerah itu bertepatan dengan Hari Bela Negara, hari
memperingati semangat melawan Agresi Militer Walondo II di Nusantara. Peristiwa yang diyakini sebagai pemersatu
bangsa. Hla, bukannya hanya Timnas bal-balan Indonesia yang bisa
mempersatukan bangsa? Hohoho... huuuooong
wilaheng.... Kesaktian Kanjeng Dimas Taat Pribadi tidak bisa menggandakan
gol Timnas Indonesia ke gawang Thailand. Andai Kanjeng masih bebas, he...he...he....he....he.......
Para peramal amatir juga musti
kecewa. Ilmu othak athik mathuk tidak
menjadi kenyataan. Timnas Indonesia yang berlambang burung garuda diprediksi
akan mengalahkan Timnas Thailand yang
mempunyai lambang gajah. Final berlangsung di bulan maulid, bulan di mana
Kanjeng Nabi Muhammad dilahirkan ke dunia yang ketika itu terjadi usaha
penghancuran Ka’bah. Tetapi dengan gagahnya, burung-burung ababil bisa
memporak-porandakan pasukan gajah pimpinan Abrahah. Daaaaan, kenyataannyaaaaa,
untuk kelima kalinya Timnas Indonesia harus puas di posisi runner up. Burung garuda dan ababil ya sudah jelas bedanya toh leeee....le. Kok disama-samakan. Hmmmmmm.....
Masih ingat sinetron Jono dan Lono? Kembar tapi beda. Kita itu
sama, Indonesia, tapi beda suku bangsa, agama, dan adat istiadat. Menggunakan
perbedaan itu untuk gotong-royong. Bukan untuk saling lapor. Bhinneka, ya,
bhinneka, tapi mbok ya jangan kebablasan. Akidah agama kok dicampur-campur. Agama jangan
disamakan dengan es campur. Teroris, ya, teroris. Itu kejahatan. Bukan karena
teroris itu berjenggot dan berpeci, lantas disangka Islam itu ajaran kejahatan.
Setelah penduduk Rohingya terusir dari tanahnya, masih menyangka Islam itu
teroris?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment